Kadangkala kami rindu untuk bisa berkumpul lagi di kelas seperti saat itu, namun kita sudah dengan kesibukan masing-masing, tapi biarlah foto ini sebagai kenangan bagi kami.
Rabu, 30 April 2025
Keakraban PDIH Angkatan 15 Unissula Semarang
HAJI 2022
Segala puji kami haturkan kehairat Allah Swt atas segala nikmat dan karunia yg telah kami peroleh darinya, dan pada kesempatan musim haji tahun ini insya Allah kami bisa berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji bersama istri dan anak kami.
Mohon doa dan restu keberangkatan kami ke tanah suci, dan sebelumnya kami memohon maaf atas segala salah dan dosa yang telah kami perbuat baik yang disengaja maupun tidak disengaja, karena kami sebagai manusia tidak akan luput dari salah dan dosa.
Semoga saudara-saudara kita yang belum mendapatkan kesempatan tahun ini, Allah swt akan memberikan jalan pada kesempatan berikutnya, amiin.
Kebebasan Berekspresi dan Keadilan Digital
🇰 🇴 🇵 🇮 🇵 🇦 🇬 🇮
Oleh : Dr. Sunardi, SH., MH
Judul Artikel
"Kebebasan Berekspresi dan Keadilan Digital"
Dalam era informasi digital, hak atas kebebasan berpendapat (Pasal 28E(3) UUD 1945) sangat kuat. Namun kebebasan ini tidak absolut; tetap ada batas hukum guna melindungi reputasi, keamanan, dan hak orang lain. Misalnya, UU ITE (UU No. 11/2008 yang telah diperbarui menjadi UU No. 1/2024) dirancang untuk mencegah penyalahgunaan ekspresi publik, seperti penyebaran hoaks atau ujaran kebencian. Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa perlindungan privasi dan jaminan kebebasan berpendapat harus seimbang secara proporsional. Dengan kata lain, setiap tindak pidana digital harus memenuhi asas lex certa (ketentuan pasti) sehingga hak-hak sipil tidak dibatasi secara berlebihan.
Isu keaslian ijazah Presiden Republik Indonesia sering menjadi polemik di ruang publik. Tuduhan “ijazah palsu” terhadap Presiden Joko Widodo hanya berdasarkan dugaan tanpa bukti valid merupakan contoh argumen keliru (argumentum ad ignorantiam). Secara hukum, tanggung jawab pembuktian ada pada pihak yang menuduh; tanpa bukti, tuduhan tersebut gugur secara otomatis. Selain itu, mekanisme hukum sudah tersedia: menurut UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Presiden sebagai penyelenggara negara adalah badan publik, sehingga informasi keaslian ijazahnya termasuk informasi publik yang bisa dimohonkan. Dengan demikian, polemik ijazah bukanlah soal konspirasi melainkan masalah fakta yang seharusnya diselesaikan lewat permohonan informasi resmi, bukan penyebaran opini tanpa verifikasi.
Intisari Putusan MK 105/PUU-XXII/2024
Pada 29 April 2025, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU ITE (UU 1/2024) dalam perkara No. 105/PUU-XXII/2024. Pemohon (Daniel F.M. Tangkilisan) menguji Pasal 27A dan 28(2) UU ITE beserta ketentuan pidananya terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Mahkamah menilai norma pencemaran nama baik digital semula (Pasal 27A) rentan disalahgunakan karena frasa “orang lain” tidak memiliki batas tegas. Oleh karena itu MK menegaskan bahwa Pasal 27A UU ITE dan Pasal 45(4) hanya berlaku jika korban pencemaran adalah orang perseorangan, bukan lembaga atau jabatan publik. Dengan kata lain, lembaga pemerintah, korporasi, kelompok, profesi, atau jabatan yang diwakili seseorang tidak termasuk dalam objek pasal tersebut.
Selain itu, MK mempersempit cakupan pasal ujaran kebencian (Pasal 28(2)/45A(2) UU ITE). Norma semula dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika ditafsirkan tanpa pembatasan; MK memerintahkan agar frasa terkait “penyebaran kebencian” dipahami hanya untuk informasi elektronik yang secara substansial berisi penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu, dilakukan sengaja di muka umum, dan menimbulkan risiko nyata diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Dengan penafsiran baru ini, ungkapan netral atau kritik biasa tidak otomatis memenuhi unsur pidana ujaran kebencian, kecuali memang memenuhi kriteria khusus tersebut.
Implikasi Putusan MK: Ruang Publik dan Negara Hukum
Putusan MK 105 membawa konsekuensi penting bagi ruang publik dan kebebasan berekspresi. Pertama, institusi negara atau korporasi dilarang menggunakan UU ITE untuk mengadu kasus pencemaran nama baik; hanya individu korban yang boleh melapor. Artinya, lembaga pemerintah tidak dapat lagi mempidanakan kritik atau penghinaan kepada institusi dengan pasal pencemaran nama baik ITE. Langkah ini membuka ruang bagi masyarakat untuk lebih bebas memberikan kritik kepada penguasa, tanpa takut langsung dijerat pidana ITE. Pemerintah sendiri menyambut putusan ini sebagai “kabar baik” bagi kebebasan berpendapat, meski mengingatkan agar ekspresi publik tetap berlandaskan tanggung jawab dan fakta. Dengan demikian, Putusan MK 105 mendorong budaya diskusi yang lebih terbuka, namun juga menegaskan pentingnya etika dalam menyampaikan pendapat.
Kedua, putusan ini memperkuat prinsip negara hukum dengan menegaskan asas kepastian hukum (legal certainty). MK menegaskan bahwa norma pidana harus bersifat jelas dan tidak boleh dipakai secara sewenang-wenang. Dalam pertimbangan putusan lain terkait UU ITE, MK bahkan menyinggung prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta agar hukum tidak multitafsir. Dengan batasan tegas di pasal ITE, aparat penegak hukum diharapkan lebih objektif dan tidak sembarangan menetapkan seseorang sebagai tersangka hanya berdasarkan ekspresi publik yang ambigu. Singkatnya, putusan ini mengawal bahwa setiap pembatasan ekspresi harus berlandaskan hukum tertulis yang jelas, selaras dengan konsep negara hukum yang adil.
Kesimpulan
Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 memberikan kejelasan bahwa aturan pidana di dunia maya tidak boleh menyasar entitas non-personal. Larangan pengaduan pencemaran nama baik oleh institusi memperluas ruang demokrasi digital, sedangkan penafsiran sempit terhadap ujaran kebencian melindungi opini sah dari kriminalisasi. Bagi mahasiswa hukum, kasus ini menjadi pelajaran penting: penegakan prinsip keadilan dan kepastian hukum (negara hukum) harus dijaga bersama kebebasan publik. Dalam situasi informasi yang cepat dan luas, pendekatan hukum yang proporsional dan cermat seperti keputusan MK ini sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan perlindungan hukum terhadap reputasi.
Sumber hukum: Putusan MK 105/PUU-XXII/2024 tentang UU ITE (UU No. 1/2024); UU No. 14 Tahun 2008 (KIP); Pendapat dan pertimbangan MK serta sumber hukum terkait seperti UU No. 11/2008 (ITE), UU 1946, dan UUD 1945.