KOPI HITAM

Selasa, 17 Juni 2025

Judul: Dinamika Hukum di Era Teknologi Modern 5.0: Tantangan dan Peluang Baru

Judul: Dinamika Hukum di Era Teknologi Modern 5.0: Tantangan dan Peluang Baru

Dr. Sunardi, S.H.,M.H

Pendahuluan

Memasuki era teknologi 5.0, masyarakat global menghadapi transformasi besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam ranah hukum. Era ini tidak hanya ditandai oleh percepatan digitalisasi dan kecerdasan buatan (AI), tetapi juga menempatkan manusia sebagai pusat dari inovasi teknologi. Dengan demikian, hukum dituntut untuk lebih adaptif, responsif, dan progresif dalam menyikapi dinamika yang terjadi.

1. Hukum dan Disrupsi Teknologi

Teknologi 5.0 menghadirkan perubahan fundamental dalam cara manusia bekerja, berinteraksi, hingga menjalankan bisnis. Konsep seperti metaverse, blockchain, dan Internet of Things (IoT) menimbulkan tantangan baru dalam pengaturan hukum:

Perlindungan Data Pribadi: Dengan makin banyaknya data yang dikumpulkan oleh platform digital, isu perlindungan privasi menjadi perhatian utama. Negara-negara seperti Indonesia sudah merespons dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

Transaksi Digital dan Kontrak Cerdas (Smart Contract): Hukum kontrak kini harus mampu mengakomodasi bentuk-bentuk perjanjian yang berjalan secara otomatis melalui teknologi blockchain.

Cybercrime dan Keamanan Siber: Kejahatan dunia maya terus berkembang pesat. Hukum pidana dan perdata harus diperbarui untuk mengantisipasi jenis-jenis kejahatan baru seperti pencurian identitas digital, penipuan online, dan deepfake.


2. Peran Hukum dalam Etika Teknologi

Era 5.0 juga menuntut pendekatan hukum yang tidak hanya legalistik, tetapi juga etis dan humanistik. Penggunaan AI, misalnya, membawa konsekuensi etis dalam pengambilan keputusan otomatis—terutama jika menyangkut diskriminasi algoritmik, bias data, atau pengawasan massal.

Lembaga hukum perlu merumuskan kebijakan yang menyeimbangkan antara inovasi dan perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak untuk privasi, kebebasan berekspresi, dan keadilan.

3. Reformasi Regulasi dan Digitalisasi Sistem Hukum

Di sisi lain, era ini juga membuka peluang besar bagi reformasi sistem hukum itu sendiri:

E-Court dan E-Litigation: Sistem peradilan di banyak negara, termasuk Indonesia, telah mulai mengadopsi sistem elektronik untuk mempermudah akses keadilan. Ini membantu mempercepat proses hukum dan meningkatkan transparansi.

Legal Tech: Startup di bidang hukum kini berkembang pesat, menawarkan layanan seperti analisis dokumen otomatis, konsultasi hukum berbasis AI, dan sistem manajemen perkara digital.

Pendidikan Hukum Berbasis Teknologi: Institusi pendidikan hukum harus beradaptasi dengan menyisipkan kurikulum teknologi, hukum digital, dan literasi data untuk mencetak profesional hukum yang relevan dengan zaman.


4. Kolaborasi Multi-Pihak sebagai Kunci

Menghadapi dinamika hukum era 5.0 memerlukan kerja sama lintas sektor—antara pemerintah, akademisi, pelaku industri teknologi, dan masyarakat sipil. Hanya dengan pendekatan kolaboratif, hukum bisa menjadi landasan yang kokoh bagi perkembangan teknologi yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Dinamika hukum di era teknologi modern 5.0 bukanlah sekadar tantangan, melainkan juga peluang untuk menciptakan sistem hukum yang lebih inklusif, efisien, dan adaptif. Regulasi yang visioner dan berbasis nilai-nilai kemanusiaan akan menjadi fondasi penting untuk menjaga harmoni antara inovasi dan perlindungan hak-hak warga di era digital ini.


Senin, 26 Mei 2025

Peran Sentral Logika Hukum dalam Pembuktian Perkara

Artikel
Dr. Sunardi, S.H.,M.H

Dalam konteks pembuktian perkara, logika hukum memainkan peran sentral karena menentukan bagaimana hakim, jaksa, dan pengacara menyusun, menilai, dan menyimpulkan kebenaran dari suatu peristiwa hukum berdasarkan alat bukti yang tersedia. Pengaruh logika hukum dalam pembuktian perkara meliputi aspek penalaran deduktif, induktif, dan argumentatif, yang seluruhnya berpadu untuk mencapai kebenaran hukum (truth-seeking). Berikut penjelasan sistematisnya:


1. Logika Deduktif: Mengaitkan Fakta dengan Norma

Hakim menilai bukti dengan kerangka silogisme hukum:

• Premis mayor: Norma hukum (misalnya Pasal dalam KUHP atau KUHPerdata).

• Premis minor: Fakta yang telah terbukti (berdasarkan alat bukti).

Kesimpulan: Apakah unsur delik atau peristiwa hukum terpenuhi.


Contoh:

Premis mayor: Pasal 378 KUHP menyatakan bahwa penipuan adalah perbuatan menyampaikan keterangan palsu untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain.

Premis minor: Terdakwa menyampaikan data keuangan fiktif untuk mendapatkan dana dari korban.

Kesimpulan: Unsur penipuan terpenuhi.

Kekuatan logika deduktif: konsistensi antara fakta dan norma memastikan putusan adil secara formil.


2. Logika Induktif: Menyusun Fakta dari Bukti yang Terserak

Seringkali, tidak semua fakta tersedia secara langsung. Maka hakim harus menyimpulkan fakta dari:

• Saksi,

• Surat,

• Keterangan ahli,

• Petunjuk,

• Keterangan terdakwa/penggugat/tergugat.


Di sinilah logika induktif bekerja: dari bukti-bukti parsial, disusun gambaran utuh tentang peristiwa.

Contoh:

Tidak ada saksi langsung pembunuhan, tapi terdapat sidik jari, rekaman CCTV, dan motif.

Hakim menyimpulkan keterlibatan terdakwa secara probabilistik tinggi dan logis.

Catatan penting: logika induktif dalam hukum bersifat tidak absolut, namun harus memenuhi asas “beyond reasonable doubt” dalam pidana, atau “preponderance of evidence” dalam perdata.

3. Logika Argumentatif: Mempengaruhi Penilaian Hakim

Advokat dan jaksa menyusun argumen hukum yang kuat:

- Menyusun narasi sebab-akibat,

- Menolak atau melemahkan validitas alat bukti lawan (misalnya mempertanyakan relevansi, keaslian, atau prosedurnya),

- Membandingkan dengan yurisprudensi atau doktrin hukum.

Di sinilah logika retoris dan dialektika hukum berperan—menjadikan pembuktian bukan sekadar teknis, tetapi juga seni berargumentasi.


4. Logika Penilaian Hakim (Inner Conviction)

Dalam sistem pembuktian conviction intime (keyakinan hakim), seperti di Indonesia, hakim tidak hanya melihat alat bukti secara kuantitas, tetapi juga kualitas dan koherensinya.

Logika hukum membantu hakim menilai:

- Apakah bukti saling mendukung atau bertentangan?

- Apakah kesimpulan logis dapat ditarik?

- Apakah narasi hukum masuk akal dalam konteks sosial dan hukum?


Ini menunjukkan bahwa logika hukum adalah fondasi nalar hakim dalam mengaitkan antara alat bukti dan keyakinannya terhadap kebenaran.


5. Korelasi dengan Asas Pembuktian

Logika hukum menopang asas-asas pembuktian:

• Asas lex specialis: bukti yang khusus mengalahkan yang umum.

• Asas in dubio pro reo: jika terdapat keraguan, maka diputuskan untuk keuntungan terdakwa (logika kehati-hatian).

• Asas beban pembuktian: siapa yang mendalilkan, dia yang harus membuktikan (logika beban logis).


Kesimpulan

Logika hukum sangat memengaruhi proses pembuktian perkara dengan cara:

√ Menstrukturkan hubungan antara norma dan fakta (deduktif),

√ Menyusun gambaran peristiwa dari bukti tidak langsung (induktif),

√ Menyusun argumen hukum yang rasional dan persuasif (argumentatif),

√ Membantu hakim mencapai keyakinan yang logis dan sah secara hukum.

Dengan demikian, pembuktian dalam hukum bukan hanya soal berapa banyak bukti, tetapi seberapa logis dan meyakinkan bukti itu dirangkai dalam sistem hukum yang berlaku.

Sabtu, 24 Mei 2025

Pembahasan tentang perbedaan Frasa pada pasal yang mengatur "Barang siapa menjadi Setiap Orang " dalam KUHP

Perbedaan Frasa pada pasal yang mengatur "Barang siapa menjadi Setiap Orang " dalam KUHP Baru

Artikel 
Dr. Sunardi, S. H., M. H

Sebentar lagi kita akan memasuki tahun 2026 dimana ada titik awal akan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru hasil karya anak bangsa Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 dan akan berlaku pada tanggal 2 Januari 2026, menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda. 
Dalam menjawab relevansi hukum pidana dalam sistem hukum di Indonesia yang sudah banyak dipengaruhi perkembangan dari berbagai aspek hukum dan tehnogi, tentunya dengan terbitnya KUHP baru ini akan bisa memberikan rasa keadilan sebagaimana visi dan misi dibentuknya KUHP baru. 
Ada beberapa perbedaan yang terkandung dalam KUHP baru, dan kali ini akan disajikan pembahasan tentang perbedaan Frasa pada pasal yang mengatur "Barang siapa menjadi Setiap Orang "

Perbedaan frasa "barang siapa" dalam KUHP lama (Wetboek van Strafrecht) dan KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) mencerminkan pergeseran paradigma hukum pidana Indonesia, baik dari segi bahasa hukum, konsep hukum pidana, maupun pendekatan terhadap subjek hukum.


1. KUHP Lama: “Barang siapa”

Dalam KUHP lama, frasa “barang siapa” digunakan secara luas untuk menunjuk siapa saja yang melakukan tindak pidana.

Asal-usul: Terjemahan dari bahasa Belanda “een ieder die” atau “hij die”.

Karakteristik:

Mengandung kesan formal dan kaku.

Tidak eksplisit menyebut subjek hukum secara langsung (manusia vs korporasi).

Terfokus pada perbuatan (actus reus), tidak menonjolkan peran pelaku sebagai subjek sosial atau hukum.

Contoh:

> Pasal 362 KUHP lama: “Barang siapa mengambil barang sesuatu...”


2. KUHP Baru: “Setiap Orang”

KUHP baru menggantikan “barang siapa” dengan istilah yang lebih modern dan inklusif, yaitu “setiap orang”.

Dasar perubahan:

Bahasa hukum yang lebih komunikatif dan sesuai dengan perkembangan perundang-undangan nasional.

“Setiap orang” telah menjadi standar dalam banyak UU sektoral (misal: UU ITE, UU Perlindungan Anak, dll).

Memungkinkan penerapan hukum pidana tidak hanya pada individu, tapi juga korporasi (lihat Pasal 45 KUHP Baru).


Kelebihan:

- Lebih jelas menunjuk subjek hukum: bisa orang perseorangan maupun badan hukum.

- Menghilangkan kesan kolonial dan menggambarkan semangat pembaruan hukum nasional.

- Memudahkan pemahaman publik dan aparat penegak hukum.

Contoh:

> Pasal 435 KUHP Baru: “Setiap orang yang melakukan pencurian...”


3. Implikasi Perubahan

Secara normatif: tidak mengubah substansi tindak pidananya, tetapi mempertegas subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban.

Secara simbolik: memperlihatkan arah reformasi hukum nasional yang lebih demokratis, inklusif, dan membumi.

Secara praktis: mengakomodasi perkembangan seperti tindak pidana oleh korporasi, hukum pidana modern, dan perlindungan HAM.



Kesimpulan

Perubahan frasa dari "barang siapa" menjadi "setiap orang" dalam KUHP baru bukan sekadar kosmetik bahasa, tetapi mencerminkan transformasi sistem hukum pidana Indonesia ke arah:

lebih progresif,

lebih kontekstual dengan nilai-nilai nasional,

serta lebih kompatibel dengan perkembangan hukum internasional dan hukum sektoral nasional.

Sabtu, 17 Mei 2025

Seragam dan Atribut Ormas

🇰 🇴 🇵 🇮 🇭 🇮 🇹 🇦 🇲 
Atribut Ormas dan Batasannya: Antara Identitas dan Ancaman Simbolik

Artikel 
Dr. Sunardi, S.H., M.H

Di tengah maraknya organisasi kemasyarakatan (ormas) yang tumbuh dan beraktivitas di ruang publik, pakaian dan atribut sering kali menjadi simbol identitas dan kekuatan. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua simbol boleh digunakan secara bebas. Negara memiliki batasan yang jelas terkait hal ini demi menjaga ketertiban dan menghindari penyalahgunaan simbol kekuasaan.

Mengapa Atribut Ormas Perlu Diatur?

Atribut, seragam, dan lambang merupakan bagian penting dari identitas ormas. Sayangnya, dalam banyak kasus, atribut yang digunakan menyerupai seragam militer atau kepolisian. Ini menimbulkan kebingungan, bahkan ketakutan, di tengah masyarakat. Tidak jarang, atribut dipakai untuk menunjukkan dominasi atau menebar intimidasi dalam unjuk rasa, penggalangan massa, hingga aksi sweeping.

Landasan Hukum: UU Ormas dan Larangan Atribut Militeristik

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (yang telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2017) menegaskan larangan ini secara eksplisit:

Pasal 59 ayat (3): Ormas dilarang menggunakan nama, lambang, atau atribut yang menyerupai institusi negara atau ormas lain.

Pasal 59 ayat (4): Ormas dilarang menggunakan atribut militer atau menyerupai seragam TNI dan Polri.


Pelanggaran terhadap aturan ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi bisa merujuk pada pelanggaran pidana, apalagi jika disertai tindakan kekerasan atau penyalahgunaan wewenang simbolik.

Maklumat Kapolri dan Aturan Tambahan

Kepolisian melalui Maklumat Kapolri No. MAK/1/I/2021 juga memperingatkan masyarakat agar tidak menggunakan simbol atau atribut organisasi yang telah dilarang, terutama jika terkait paham radikalisme atau potensi mengganggu keamanan nasional.

Sanksi: Tidak Sekadar Teguran

Bagi individu atau kelompok yang melanggar aturan tersebut, sanksinya bisa berupa:

Sanksi administratif: pembubaran organisasi, pencabutan status badan hukum.

Sanksi pidana: termasuk penjara bagi mereka yang memakai atribut resmi negara secara tidak sah, sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU Ormas.


Menjaga Ketertiban, Bukan Membungkam Ekspresi

Perlu ditekankan bahwa regulasi ini tidak ditujukan untuk membungkam ekspresi ormas, melainkan memastikan bahwa tidak ada simbol kekuasaan yang disalahgunakan. Atribut bukan sekadar kain dan lambang—ia bisa menjadi alat mobilisasi, manipulasi, bahkan penindasan jika tidak dikontrol secara adil dan tegas.


KOPI HITAM meyakini bahwa ormas berperan penting dalam demokrasi. Namun kekuatan sosial ini harus dikelola dengan etika, tanggung jawab, dan patuh terhadap hukum. Atribut adalah bagian dari komunikasi publik, maka jangan sampai jadi senjata yang mengancam ruang hidup bersama.

Kamis, 15 Mei 2025

Fenomena Kekosongan Hukum dalam Dinamika Sosial

Judul: Fenomena Kekosongan Hukum dalam Dinamika Sosial: Tantangan dan Strategi Responsif

Oleh: Dr. Sunardi, S.H.,M.H


Pendahuluan

Hukum idealnya menjadi sistem normatif yang mengatur perilaku masyarakat secara adil dan tertib. Namun, dalam kenyataannya, terdapat kondisi yang disebut kekosongan hukum (legal vacuum), yaitu saat suatu persoalan dalam masyarakat tidak diatur secara memadai oleh norma hukum yang berlaku. Kekosongan ini menjadi sumber ketidakpastian dan ketidakadilan dalam kehidupan bernegara. Artikel ini membahas penyebab, dampak, dan solusi atas kekosongan hukum, serta relevansinya dalam konteks Indonesia saat ini.


Penyebab Kekosongan Hukum

  1. Perubahan Sosial dan Teknologi yang Cepat
    Masyarakat mengalami transformasi sosial, ekonomi, dan teknologi yang jauh lebih cepat dari kemampuan legislasi. Contohnya adalah fenomena kriptoaset, kecerdasan buatan, dan digitalisasi data pribadi yang belum diatur secara utuh dalam sistem hukum nasional.

  2. Keterbatasan Legislasi
    Proses pembentukan hukum yang panjang dan politis menyebabkan banyak norma yang tertinggal relevansinya. Celah hukum juga muncul karena perumusan pasal yang kabur atau tidak komprehensif.

  3. Pluralisme Hukum
    Dalam negara dengan sistem hukum ganda seperti Indonesia (hukum negara, adat, agama), sering terjadi tumpang tindih atau bahkan kekosongan pengaturan karena batas yurisdiksi yang tidak jelas.


Dampak Kekosongan Hukum

  • Ketidakpastian Hukum
    Masyarakat dan pelaku usaha tidak memiliki kepastian dalam mengambil keputusan, yang dapat menghambat investasi dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

  • Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
    Aparat penegak hukum dapat menafsirkan hukum secara subjektif, yang dapat membuka ruang untuk diskriminasi atau kriminalisasi sewenang-wenang.

  • Ketidakadilan Sosial
    Kelompok marginal sering menjadi korban karena tidak adanya perlindungan hukum yang eksplisit atas hak dan kepentingan mereka.


Respons terhadap Kekosongan Hukum

  1. Penafsiran Progresif oleh Hakim
    Dalam sistem civil law, hakim dapat mengisi kekosongan hukum dengan menggunakan analogi atau prinsip umum keadilan. Hal ini menuntut hakim yang visioner dan peka terhadap nilai-nilai sosial.

  2. Legislasi Adaptif dan Responsif
    Pemerintah dan DPR perlu membentuk undang-undang yang lebih lincah dan partisipatif, termasuk membuka ruang bagi emergency law, perppu, atau peraturan teknis dari lembaga regulator.

  3. Peran Lembaga Non-Hukum
    LSM, media, dan lembaga etika dapat mendorong terbentuknya hukum baru serta menjadi penyeimbang dalam menjaga kepentingan publik selama kekosongan hukum terjadi.


Studi Kasus: Indonesia

  • Pinjaman Online (Pinjol): Sebelum hadirnya regulasi khusus dari OJK, banyak kasus intimidasi penagihan dan pelanggaran privasi yang terjadi akibat kekosongan hukum dalam pengawasan layanan digital keuangan.

  • Cybercrime: UU ITE masih memiliki banyak celah dalam menghadapi modus kejahatan digital terbaru seperti deepfake, ransomware, dan serangan terhadap sistem infrastruktur vital.

  • Hukum Lingkungan: Di banyak daerah, kekosongan atau lemahnya peraturan daerah tentang tambang dan lingkungan hidup menyebabkan eksploitasi yang merusak ekosistem.


Kesimpulan

Kekosongan hukum merupakan tantangan nyata bagi negara hukum modern. Kecepatan perubahan sosial menuntut respons hukum yang tidak hanya cepat, tetapi juga adil dan partisipatif. Oleh karena itu, kolaborasi antara legislator, yudikatif, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi penting dalam mengisi kekosongan ini demi keadilan substantif dan kepastian hukum.

KAJIAN HUKUM PERTANAHAN VS SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH YANG DIKLAIM MERUPAKAN ASET DESA

KAJIAN HUKUM TERHADAP STATUS TANAH BALAI DESA YANG DIKLAIM OLEH AHLI WARIS DAN TELAH DIALIHKAN KEPADA PIHAK KETIGA

Oleh 
Dr. Sunardi, S.H.,M.H

Abstrak

Kajian ini membahas sengketa kepemilikan tanah yang digunakan sebagai balai desa, namun diklaim oleh ahli waris pemilik awal berdasarkan leter C. Permasalahan menjadi kompleks ketika ahli waris telah menjual tanah tersebut dengan akta jual beli yang sah. Di sisi lain, pemerintah desa tetap mengklaim tanah sebagai aset desa berdasarkan pencatatan NOP. Kajian ini menganalisis validitas hukum masing-masing pihak berdasarkan peraturan agraria, tata kelola aset desa, dan yurisprudensi.

Kata Kunci: Tanah Desa, Aset Desa, Leter C, Akta Jual Beli, NOP, Sengketa Kepemilikan

I. Pendahuluan

Permasalahan yang dikaji dalam dokumen ini berkaitan dengan status kepemilikan tanah yang selama ini digunakan sebagai lokasi balai desa. Tanah tersebut diklaim oleh para ahli waris pemilik awal dengan menunjukkan alas hak berupa leter C, dan kemudian dijual kepada pihak ketiga melalui akta jual beli notaris. Kepala desa sebelumnya, dengan persetujuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan diketahui oleh Camat, menyerahkan tanah tersebut kepada ahli waris. Namun, kepala desa berikutnya tetap mengakui tanah tersebut sebagai aset desa berdasarkan pencatatan NOP.

II. Permasalahan Hukum

1. Apakah leter C dapat dijadikan bukti kepemilikan tanah oleh ahli waris?


2. Apakah akta jual beli dari ahli waris kepada pihak ketiga memiliki kekuatan hukum mengikat?


3. Apakah pencatatan NOP atas nama desa cukup untuk membuktikan status tanah sebagai aset desa?


4. Bagaimana kedudukan hukum antara AJB dan klaim aset desa berdasarkan NOP?



III. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)


2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa


3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa


4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah


5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)



IV. Analisis Hukum

1. Leter C sebagai Dasar Klaim Leter C merupakan alat bukti administratif atas penguasaan tanah secara turun-temurun. Meski bukan sertifikat, dalam kondisi tidak ada dokumen hak milik lain, leter C bisa menjadi bukti awal yang sah untuk mengklaim kepemilikan.


2. Akta Jual Beli sebagai Bukti Peralihan Hak AJB yang dibuat di hadapan PPAT merupakan bukti sah peralihan hak atas tanah. Jika tanah dijual berdasarkan leter C dan tidak ada keberatan yang sah dari desa saat pembuatan AJB, maka hak atas tanah telah berpindah kepada pembeli.


3. Klaim Aset Desa Berdasarkan NOP NOP hanya digunakan untuk keperluan perpajakan dan tidak serta-merta menunjukkan status kepemilikan. Klaim aset desa yang hanya berdasarkan NOP tanpa didukung sertifikat atau bukti pencatatan dalam register aset desa tidak cukup kuat di mata hukum.


4. Kedudukan Hukum AJB vs NOP Dalam pertentangan antara AJB dan NOP, AJB memiliki kekuatan hukum lebih tinggi sebagai alat bukti otentik. NOP hanya dapat mendukung bukti lain, tetapi tidak berdiri sendiri sebagai bukti kepemilikan.



V. Yurisprudensi Terkait

Putusan MA No. 2556 K/Pdt/2005: Leter C sah digunakan sebagai bukti awal kepemilikan jika tidak ada sertifikat yang bertentangan.

Putusan MA No. 2786 K/Pdt/2012: NOP tidak dapat dijadikan dasar tunggal kepemilikan.

Putusan PTUN Jakarta No. 78/G/2010/PTUN.JKT: Penggunaan tanah oleh desa tanpa alas hak sah tidak menghapus hak pihak lain.


VI. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Leter C dan AJB sah digunakan untuk menunjukkan dan memindahkan hak atas tanah.


2. NOP bukan alat bukti kepemilikan tanah.


3. Klaim desa hanya sah jika disertai bukti tertulis yang sah dan pencatatan resmi aset.



Rekomendasi:

Dilakukan klarifikasi terhadap status tanah melalui BPN.

Jika diperlukan, penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur hukum atau mediasi.

Pemerintah desa sebaiknya melakukan penertiban dan sertifikasi aset untuk menghindari konflik serupa di masa depan.

Sabtu, 10 Mei 2025

Polemik Ijazah Presiden Joko Widodo: Kajian Hukum atas Legalitas Dokumen Negara dan Wewenang Legalisasi




Artikel
Dr. Sunardi, S.H.,M.H

JUDUL:

Polemik Ijazah Presiden Joko Widodo: Kajian Hukum atas Legalitas Dokumen Negara dan Wewenang Legalisasi

Abstrak

Polemik mengenai keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo telah menjadi perdebatan publik yang melibatkan opini politis dan yuridis. Kajian ini bertujuan untuk menelaah legalitas dokumen ijazah dari perspektif hukum administrasi negara, hukum pembuktian, dan asas legalitas. Dengan metode yuridis normatif, penelitian ini menyimpulkan bahwa legalisasi ijazah merupakan kewenangan eksklusif lembaga pendidikan yang bersangkutan, dan pernyataan keabsahan oleh institusi resmi memiliki kedudukan sebagai bukti otentik dalam sistem hukum Indonesia. Polemik tanpa dasar pembuktian hukum tidak dapat menggugurkan validitas dokumen negara, bahkan berpotensi menjadi tindak pidana penyebaran informasi palsu.

Kata Kunci: Ijazah, Legalitas Dokumen, Presiden, Pembuktian, Hukum Administrasi Negara


I. Pendahuluan

Polemik mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo yang muncul di ruang publik menjadi fenomena menarik dalam kajian hukum administrasi dan hukum pembuktian. Di tengah arus informasi digital yang cenderung tidak terverifikasi, isu ini menimbulkan spekulasi dan asumsi liar yang mempengaruhi persepsi publik terhadap otentisitas dokumen negara. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis isu ini secara yuridis agar tidak terjebak dalam narasi politis yang tidak berdasar.


II. Kerangka Teoritis dan Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang mengkaji peraturan perundang-undangan terkait legalitas dokumen dan pembuktian hukum. Teori yang digunakan meliputi:

Asas legalitas dalam hukum administrasi negara

Teori kewenangan negara (theory of competence)

Teori hukum pembuktian, khususnya terkait dokumen otentik dalam sistem hukum perdata dan pidana Indonesia.



III. Analisis Hukum

1. Legalitas Dokumen Ijazah Menurut Hukum Positif

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbudristek No. 1 Tahun 2022, penerbitan ijazah adalah wewenang lembaga pendidikan. Legalitas dokumen tersebut hanya dapat dibantah dengan pembuktian sebaliknya yang sah dan meyakinkan di hadapan hukum. Dalam kasus ijazah Presiden Jokowi, lembaga penerbit (Universitas Gadjah Mada) serta Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah menyatakan keaslian dokumen tersebut.

2. Kedudukan Hukum Legalisasi dan Pembuktian Otentik

Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan bahwa akta otentik adalah alat bukti yang sempurna. Legalisasi oleh lembaga resmi adalah bentuk autentikasi yang memiliki kekuatan pembuktian hukum. Maka, bila suatu ijazah telah dilegalisasi oleh pihak berwenang, keberlakuan hukumnya tidak dapat dikesampingkan oleh opini atau tuduhan tak berdasar.

3. Polemik dalam Ruang Publik dan Implikasinya

Polemik yang berlandaskan asumsi tanpa alat bukti valid bukan hanya tidak berdampak hukum terhadap keabsahan dokumen negara, tetapi dapat mengarah pada pelanggaran hukum. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 dan UU ITE, penyebaran informasi palsu dapat dikenakan sanksi pidana, termasuk fitnah terhadap simbol negara seperti Presiden.


IV. Diskusi Kritis

Polemik ini mencerminkan krisis literasi hukum di masyarakat. Ketidaktahuan tentang mekanisme legalisasi dokumen dan otoritas lembaga negara menyebabkan spekulasi menjadi konsumsi publik. Oleh karena itu, edukasi hukum harus ditingkatkan agar publik memahami perbedaan antara opini politis dan fakta hukum.


V. Kesimpulan

1. Legalitas ijazah Presiden Jokowi secara hukum adalah sah dan didukung oleh pembuktian otentik dari lembaga berwenang.


2. Lembaga pendidikan memiliki kewenangan penuh untuk menerbitkan dan mengesahkan ijazah, serta menyatakan keabsahannya.


3. Polemik publik tanpa dasar pembuktian hukum tidak dapat menggugurkan validitas dokumen negara.


4. Penyebaran isu tidak berdasar berpotensi melanggar hukum pidana dan perlu penegakan hukum yang tegas.


5. Perlu penguatan literasi hukum masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh narasi politik yang menyesatkan.





Daftar Pustaka

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Peraturan Mendikbudristek No. 1 Tahun 2022

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)



Kamis, 08 Mei 2025

PENERAPAN POLMAS DALAM PENANGGULANGAN GANGGUAN TERHADAP IKLIM INVESTASI DI DAERAH

KAJIAN AKADEMIK

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB BUPATI DALAM PENERAPAN PERPOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS) UNTUK MENANGGULANGI GANGGUAN TERHADAP IKLIM INVESTASI DI DAERAH

I. PENDAHULUAN

Iklim investasi yang sehat dan kondusif merupakan salah satu syarat utama bagi kemajuan ekonomi daerah. Keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi faktor kunci yang memengaruhi kepercayaan investor terhadap suatu wilayah. Dalam konteks ini, pendekatan perpolisian masyarakat (Polmas) menjadi instrumen strategis dalam menjaga stabilitas sosial dan mencegah terjadinya gangguan keamanan yang dapat menghambat investasi. Bupati sebagai pemegang kekuasaan eksekutif daerah memiliki peran sentral dalam menginisiasi dan mengimplementasikan program Polmas sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan yang responsif dan partisipatif.

II. LANDASAN HUKUM

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pasal 3: Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pasal 13: Tugas Pokok Polri termasuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum.



2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 65 ayat (2) huruf d: Kepala daerah wajib menjaga ketenteraman dan ketertiban masyarakat.



3. Permendagri Nomor 26 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat

Menekankan peran aktif kepala daerah dalam kolaborasi dengan aparat penegak hukum, termasuk pendekatan partisipatif dalam menjaga ketertiban.



4. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pemolisian Masyarakat

Pasal 2: Pemolisian masyarakat bertujuan untuk membangun kemitraan antara Polri dan masyarakat dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pasal 4: Polmas dilaksanakan melalui pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, serta kerjasama dengan pemerintah daerah dan lembaga terkait.

Pasal 6: Pemerintah daerah, termasuk kepala daerah, didorong untuk mengintegrasikan program Polmas dalam kebijakan pembangunan daerah.




III. PENGERTIAN DAN PRINSIP PERPOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS)

Perpolisian masyarakat (Polmas) adalah pendekatan pemolisian berbasis komunitas, di mana masyarakat berperan aktif sebagai mitra dalam menjaga keamanan dan ketertiban bersama aparat kepolisian dan pemerintah daerah. Prinsip utama Polmas meliputi:

Kemitraan antara masyarakat, pemerintah, dan polisi

Pencegahan sebagai prioritas utama

Solusi atas masalah lokal berbasis dialog dan kolaborasi


IV. PERAN DAN TANGGUNG JAWAB BUPATI DALAM IMPLEMENTASI POLMAS

1. Menyusun kebijakan daerah yang mendukung penerapan Polmas di tingkat desa/kelurahan, khususnya pada kawasan strategis ekonomi dan investasi.


2. Mendorong pembentukan forum komunikasi masyarakat dan aparat keamanan untuk deteksi dini konflik atau gangguan ketertiban.


3. Menyediakan anggaran dalam APBD untuk pelatihan, sosialisasi, dan penguatan kapasitas masyarakat dan aparat desa dalam penerapan prinsip Polmas.


4. Berperan aktif dalam pelaksanaan program Polmas bersama Polres dan institusi lain sesuai dengan Perpol Nomor 1 Tahun 2021.


5. Berkolaborasi dengan Polres dan Kodim melalui Forkopimda untuk sinergi kebijakan keamanan berbasis komunitas.



V. DAMPAK POLMAS TERHADAP IKLIM INVESTASI

Meningkatkan rasa aman bagi pelaku usaha melalui keterlibatan masyarakat dalam menjaga ketertiban.

Menurunkan potensi konflik horizontal yang dapat menghambat investasi.

Membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah sebagai penjamin stabilitas ekonomi.

Mempermudah deteksi dini terhadap praktik pungutan liar, premanisme, dan intervensi kelompok kepentingan lokal.


VI. STRATEGI PENGUATAN PERAN BUPATI

Menyusun Peraturan Bupati (Perbup) tentang implementasi Polmas dalam pengelolaan keamanan kawasan industri dan perdagangan.

Mengintegrasikan program Polmas dengan RPJMD dan rencana investasi daerah.

Mendorong pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan organisasi kepemudaan dalam pembinaan lingkungan aman investasi.

Mengadakan forum konsultasi dan dialog publik antara pemda, aparat keamanan, investor, dan masyarakat.

Menjadikan Perpol Nomor 1 Tahun 2021 sebagai acuan dalam menyelaraskan program Polmas dengan kebijakan daerah.


VII. PENUTUP

Penerapan perpolisian masyarakat yang efektif sangat bergantung pada komitmen dan peran aktif Bupati sebagai pemegang otoritas tertinggi pemerintahan daerah. Dengan mendorong kolaborasi antara masyarakat, aparat penegak hukum, dan pelaku usaha, Polmas dapat menjadi instrumen yang ampuh dalam menjaga ketertiban sosial dan menciptakan iklim investasi yang berkelanjutan dan inklusif. Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2021 memberikan kerangka hukum yang jelas bagi sinergi antara pemerintah daerah dan kepolisian dalam membangun keamanan berbasis komunitas.

Rabu, 07 Mei 2025

KAJIAN HUKUM PERJANJIAN YANG DIBUAT TANPA IJIN SUAMI

Dalam hukum perdata Indonesia, khususnya menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), kedudukan istri dalam membuat perikatan tanpa izin suami bergantung pada beberapa faktor, seperti status perkawinan dalam sistem hukum (misalnya sistem percampuran harta atau pemisahan harta), serta apakah perikatan tersebut berkaitan dengan harta bersama atau tidak.

Penjelasannya:

1. Kedudukan Istri Menurut KUHPer

KUHPer masih memuat ketentuan bahwa suami adalah kepala keluarga dan mewakili istri dalam urusan hukum. Hal ini diatur dalam:

- Pasal 108 KUHPer: “Seorang istri tidak boleh, tanpa bantuan atau izin suaminya, mengadakan perjanjian, bahkan tidak juga untuk mengurus harta bendanya sendiri...”

Namun, aturan ini telah mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan hukum dan kesetaraan gender, terutama setelah berlakunya:

2. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Perkembangannya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan peraturan turunannya lebih menekankan asas kedudukan setara antara suami dan istri, sebagaimana diatur dalam:

- Pasal 31 ayat (1): “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.”

- Pasal 35: Harta benda dalam perkawinan dibagi menjadi:

Harta bersama (kecuali diperjanjikan lain);

Harta masing-masing suami dan istri sebelum menikah atau yang diperoleh sebagai warisan atau hibah.

Dengan demikian, secara normatif, istri berhak membuat perikatan secara mandiri, khususnya jika:

Perikatan itu menyangkut harta pribadinya;

Tidak ada perjanjian kawin yang menyatakan sebaliknya;

Atau perikatan dilakukan untuk kepentingan keluarga dan tidak melanggar hukum.

3. Yurisprudensi dan Praktik Pengadilan

Beberapa putusan pengadilan menyatakan bahwa perikatan yang dibuat oleh istri tanpa izin suami:

- Dapat dianggap sah jika menyangkut harta pribadi atau perikatan atas nama sendiri;

Namun, bisa dianggap tidak sah atau dibatalkan jika menyangkut harta bersama tanpa persetujuan suami, terutama dalam transaksi jual beli tanah atau perbuatan hukum yang menimbulkan risiko finansial besar.

Contoh: Dalam transaksi jual beli tanah yang merupakan harta bersama, persetujuan suami/istri diperlukan. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 yang mensyaratkan pernyataan persetujuan pasangan untuk peralihan hak atas tanah bersama.


4. Kesimpulan

Kedudukan istri dalam membuat perikatan tanpa izin suami bergantung pada:

Apakah perikatan itu menyangkut harta pribadi atau harta bersama;

Apakah ada perjanjian kawin atau sistem pemisahan harta;

Apakah tindakan tersebut menimbulkan risiko hukum bagi pihak lain (misalnya pihak ketiga dalam jual beli);

Dalam praktik, kehati-hatian tetap diperlukan, terutama untuk tindakan yang berkaitan dengan harta tidak bergerak.

Selasa, 06 Mei 2025

Kelalaian dan Kesengajaan Menurut Kajian Hukum Pidana

🇰 🇴 🇵 🇮 🇵 🇦 🇬 🇮

Artikel

Oleh Dr. Sunardi, SH., MH


Kelalaian dan Kesengajaan Menurut Kajian Hukum Pidana (Dengan Referensi Hukum Positif Indonesia)

1. Pendahuluan

Dalam hukum pidana Indonesia, pemidanaan terhadap seseorang tidak hanya berdasarkan perbuatannya, tetapi juga harus ada unsur kesalahan. Kesalahan dalam hukum pidana dibedakan menjadi dua bentuk utama, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Keduanya diatur dalam berbagai ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dipertegas melalui praktik peradilan (yurisprudensi).


2. Kesengajaan (Dolus)

Pengertian
Kesengajaan merupakan bentuk kesalahan di mana pelaku menyadari sepenuhnya bahwa perbuatannya dilarang dan dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum, namun tetap melakukannya. Kesengajaan menunjukkan adanya kehendak atau niat (mens rea) dalam melakukan perbuatan pidana.

Jenis-Jenis Kesengajaan:

Dolus directus (kesengajaan sebagai maksud): Pelaku secara sadar dan aktif menghendaki terjadinya akibat dari tindakannya.

Dolus indirectus (kesengajaan sebagai kepastian): Pelaku mengetahui akibat pasti akan terjadi dan tetap melakukan tindakan tersebut.

Dolus eventualis (kesengajaan sebagai kemungkinan): Pelaku menyadari kemungkinan timbulnya akibat, namun tidak menghindarinya dan tetap melanjutkan perbuatan.

Contoh: Seseorang menembak orang lain dengan niat membunuh (dolus directus), atau membakar rumah yang diketahuinya ada orang di dalamnya (dolus indirectus).

Dasar Hukum:
Kesengajaan dapat kita temukan dalam berbagai pasal KUHP, antara lain:

  • Pasal 338 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
  • Pasal 187 KUHP: tentang pembakaran dengan sengaja.

Unsur Kesengajaan:
Menurut Prof. Moeljatno, kesengajaan dalam hukum pidana berarti pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dari perbuatannya.

Yurisprudensi:

  • Putusan MA No. 1234 K/Pid/1992, menegaskan bahwa dolus eventualis cukup untuk mempertanggungjawabkan pelaku meski akibat bukan tujuan utama, asal akibat tersebut telah diperkirakan dan diterima.

3. Kelalaian (Culpa)

Pengertian
Kelalaian merupakan bentuk kesalahan di mana pelaku tidak memiliki niat melakukan tindak pidana, namun akibat yang timbul disebabkan oleh sikap tidak hati-hati atau lalainya dalam bertindak sesuai standar yang seharusnya.

Jenis-Jenis Kelalaian:

Culpa lata (kelalaian berat): Bentuk kelalaian yang menunjukkan kurangnya perhatian secara mencolok terhadap akibat dari perbuatannya.

Culpa levis (kelalaian ringan): Kelalaian yang terjadi karena kurangnya kehati-hatian biasa dari seseorang yang berakal sehat.

Culpa dengan kemungkinan (culpa met voorzienbaarheid): Pelaku seharusnya dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya akibat, namun mengabaikannya.

Culpa tanpa kemungkinan (culpa zonder voorzienbaarheid): Pelaku tidak memperkirakan akibat, padahal seharusnya mampu.

Contoh: Seorang pengemudi lalai melihat lampu merah dan menabrak pejalan kaki.

Dasar Hukum:
Kelalaian terdaoat  dalam pasal-pasal tertentu dalam KUHP, antara lain:

  • Pasal 359 KUHP: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, dihukum dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
  • Pasal 360 KUHP: tentang luka berat karena kelalaian.

Unsur Kelalaian:
Menurut R. Soesilo, kelalaian terjadi bila pelaku tidak menghendaki atau tidak menyadari akibat dari perbuatannya, tetapi seharusnya dapat menduga akibat tersebut.

Yurisprudensi:

  • Putusan MA No. 792 K/Pid/1990, menyatakan bahwa pengemudi yang melanggar rambu lalu lintas dan menyebabkan korban jiwa dapat dijatuhi pidana atas dasar culpa.

4. Perbandingan dan Implikasi Yuridis

Perbedaan ini mempengaruhi jenis pidana yang dikenakan dan seberapa besar pembuktian dibutuhkan dalam pengadilan.


5. Penutup

Dalam hukum pidana Indonesia, perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian bersifat esensial untuk menentukan bentuk pertanggungjawaban pidana. Dengan merujuk pada KUHP dan yurisprudensi Mahkamah Agung, pemahaman ini membantu penegak hukum dalam membedakan intensi pelaku dan menentukan hukuman yang adil sesuai dengan kadar kesalahannya.

PINGBOX saya