KOPI HITAM

Senin, 26 Mei 2025

Peran Sentral Logika Hukum dalam Pembuktian Perkara

Artikel
Dr. Sunardi, S.H.,M.H

Dalam konteks pembuktian perkara, logika hukum memainkan peran sentral karena menentukan bagaimana hakim, jaksa, dan pengacara menyusun, menilai, dan menyimpulkan kebenaran dari suatu peristiwa hukum berdasarkan alat bukti yang tersedia. Pengaruh logika hukum dalam pembuktian perkara meliputi aspek penalaran deduktif, induktif, dan argumentatif, yang seluruhnya berpadu untuk mencapai kebenaran hukum (truth-seeking). Berikut penjelasan sistematisnya:


1. Logika Deduktif: Mengaitkan Fakta dengan Norma

Hakim menilai bukti dengan kerangka silogisme hukum:

• Premis mayor: Norma hukum (misalnya Pasal dalam KUHP atau KUHPerdata).

• Premis minor: Fakta yang telah terbukti (berdasarkan alat bukti).

Kesimpulan: Apakah unsur delik atau peristiwa hukum terpenuhi.


Contoh:

Premis mayor: Pasal 378 KUHP menyatakan bahwa penipuan adalah perbuatan menyampaikan keterangan palsu untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain.

Premis minor: Terdakwa menyampaikan data keuangan fiktif untuk mendapatkan dana dari korban.

Kesimpulan: Unsur penipuan terpenuhi.

Kekuatan logika deduktif: konsistensi antara fakta dan norma memastikan putusan adil secara formil.


2. Logika Induktif: Menyusun Fakta dari Bukti yang Terserak

Seringkali, tidak semua fakta tersedia secara langsung. Maka hakim harus menyimpulkan fakta dari:

• Saksi,

• Surat,

• Keterangan ahli,

• Petunjuk,

• Keterangan terdakwa/penggugat/tergugat.


Di sinilah logika induktif bekerja: dari bukti-bukti parsial, disusun gambaran utuh tentang peristiwa.

Contoh:

Tidak ada saksi langsung pembunuhan, tapi terdapat sidik jari, rekaman CCTV, dan motif.

Hakim menyimpulkan keterlibatan terdakwa secara probabilistik tinggi dan logis.

Catatan penting: logika induktif dalam hukum bersifat tidak absolut, namun harus memenuhi asas “beyond reasonable doubt” dalam pidana, atau “preponderance of evidence” dalam perdata.

3. Logika Argumentatif: Mempengaruhi Penilaian Hakim

Advokat dan jaksa menyusun argumen hukum yang kuat:

- Menyusun narasi sebab-akibat,

- Menolak atau melemahkan validitas alat bukti lawan (misalnya mempertanyakan relevansi, keaslian, atau prosedurnya),

- Membandingkan dengan yurisprudensi atau doktrin hukum.

Di sinilah logika retoris dan dialektika hukum berperan—menjadikan pembuktian bukan sekadar teknis, tetapi juga seni berargumentasi.


4. Logika Penilaian Hakim (Inner Conviction)

Dalam sistem pembuktian conviction intime (keyakinan hakim), seperti di Indonesia, hakim tidak hanya melihat alat bukti secara kuantitas, tetapi juga kualitas dan koherensinya.

Logika hukum membantu hakim menilai:

- Apakah bukti saling mendukung atau bertentangan?

- Apakah kesimpulan logis dapat ditarik?

- Apakah narasi hukum masuk akal dalam konteks sosial dan hukum?


Ini menunjukkan bahwa logika hukum adalah fondasi nalar hakim dalam mengaitkan antara alat bukti dan keyakinannya terhadap kebenaran.


5. Korelasi dengan Asas Pembuktian

Logika hukum menopang asas-asas pembuktian:

• Asas lex specialis: bukti yang khusus mengalahkan yang umum.

• Asas in dubio pro reo: jika terdapat keraguan, maka diputuskan untuk keuntungan terdakwa (logika kehati-hatian).

• Asas beban pembuktian: siapa yang mendalilkan, dia yang harus membuktikan (logika beban logis).


Kesimpulan

Logika hukum sangat memengaruhi proses pembuktian perkara dengan cara:

√ Menstrukturkan hubungan antara norma dan fakta (deduktif),

√ Menyusun gambaran peristiwa dari bukti tidak langsung (induktif),

√ Menyusun argumen hukum yang rasional dan persuasif (argumentatif),

√ Membantu hakim mencapai keyakinan yang logis dan sah secara hukum.

Dengan demikian, pembuktian dalam hukum bukan hanya soal berapa banyak bukti, tetapi seberapa logis dan meyakinkan bukti itu dirangkai dalam sistem hukum yang berlaku.

Tidak ada komentar:

PINGBOX saya