Konsep dan Tujuan Visi “Clear and Clean” ATR/BPN
Kementerian ATR/BPN mengusung visi pengelolaan pertanahan yang “clear and clean”, yakni agar setiap bidang tanah memiliki kepastian kepemilikan yang jelas dan bebas sengketa. Dalam visi ini, status clear and clean diartikan sebagai tanah yang tidak sedang dalam keadaan bermasalah atau konflik. Tujuan utamanya adalah memberikan kepastian hukum atas hak atas tanah sehingga dapat mendukung percepatan pembangunan (misalnya kawasan strategis nasional) dan meningkatkan iklim investasi. Misalnya, saat merencanakan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara Menteri ATR/BPN menegaskan lahan IKN harus “clean and clear” agar pengelolaan selanjutnya lebih lancar.
*Ilustrasi rencana kota IKN Nusantara yang direncanakan dengan status lahan “clean and clear” untuk kepastian hukum pertanahan. Dalam praktiknya, prinsip clear and clean dijadikan prasyarat pengeluaran sertifikat atau izin pertanahan, dengan harapan pemilik tanah sudah jelas secara administratif sebelum sertifikat diterbitkan.
Implementasi dalam Sertifikasi dan Legalisasi Aset Tanah
Untuk mewujudkan visi tersebut, ATR/BPN melaksanakan program sertifikasi massal seperti Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan menerbitkan sertifikat elektronik. Hingga 2024, pemerintah mengklaim telah mengeluarkan sertifikat PTSL sekitar 117,9 juta bidang tanah secara nasional. Selain itu, sertifikat elektronik diperluas ke seluruh kantor pertanahan. Dalam prosedur ini, setiap bidang yang didata harus memenuhi syarat clear and clean, artinya belum ada konflik kepemilikan. Contohnya, Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18/2021 tentang pendaftaran HGU mengharuskan pemohon menyatakan bahwa lahan yang diurus “tidak terdapat keberatan dari pihak lain” atas tanah tersebut. Tanpa pernyataan clean and clear, izin seperti HGU (Hak Guna Usaha) tidak dapat terbit. Demikian pula, skema sertifikat gratis (PTM3/PTSL) mensyaratkan tanah tidak sedang bermasalah agar penerbitannya valid (daerah bermasalah ditunda). Dengan demikian, secara formal legalitas lahan ditekankan pada pemenuhan dokumen dan pernyataan resmi sebelum pengesahan sertifikat atau hak pengelolaan diterbitkan.
Dominasi Formalitas Hukum vs Fakta Sosial Historis
Namun prasyarat clear and clean yang berbasis formalitas hukum seringkali mengabaikan realitas historis sosial kepemilikan tanah. Ketika hak masyarakat adat atau petani tidak memiliki akta formal, status lahan mereka dinilai “sulit dibersihkan” secara administratif. Beberapa kalangan menyoroti bahwa Peraturan ATR/BPN teranyar terkait tanah ulayat (Permen 14/2024) malah mensyaratkan tanah adat harus bebas sengketa dulu untuk diadministrasikan. Padahal, dalam praktiknya justru pengakuan hak ulayat sering kali menjadi bagian dari penyelesaian sengketa lahan—misalnya tumpang tindih HGU atau izin korporasi lainnya di wilayah adat. Seperti dikritik, banyak komunitas adat mengajukan pengakuan hak ulayat untuk meredam konflik, namun regulasi menuntut kondisi clean and clean sehingga proses administrasi tidak dapat berjalan tanpa konflik terselesaikan terlebih dahulu. Kondisi ini menunjukkan keberpihakan sistem hukum formal: hak legal tercatat di atas kertas dianggap lebih sah daripada kepemilikan tradisional yang tidak tercatat, sehingga fakta sosial masyarakat adat sering diabaikan dalam praktik administrasi pertanahan.
Kasus Nyata: Konflik dan Pengabaian Hak Komunitas
Berbagai kasus aktual di Indonesia menggambarkan dampak negatif pendekatan clear and clean. Misalnya, sengketa masyarakat Desa Setiamekar (Bekasi) pada awal 2025: ratusan keluarga yang memiliki SHM (sertifikat hak milik) tanah dipaksa dikosongkan meski telah diverifikasi kantor pertanahan “clean and clear” atas sertifikat mereka. Hal ini memicu dugaan mafia tanah karena pemerintah daerah dan pengembang bersikeras bahwa lahan tersebut legal, sementara pengadilan memutuskan sebaliknya. MetroTV melaporkan status lahan tersebut telah diverifikasi bersih sengketa, namun korban penggusuran tetap digusur, memperkuat anggapan persekongkolan mahar tanah.
Kasus lain menyangkut hak masyarakat adat. Di Kalimantan, konflik antara masyarakat Dayak dengan perusahaan perkebunan sawit kerap timbul karena perusahaan mendapat izin konsesi tanpa memperhatikan klaim tanah ulayat yang dikelola turun-temurun oleh komunitas adat. Masyarakat adat tidak mempunyai sertifikat formal, sehingga lahan yang menjadi hak ulayat mereka diserahkan kepada perusahaan melalui izin HGU. Akibatnya, terjadi tumpang tindih klaim atas tanah yang sama. Dalam kasus Dayak tersebut, pemerintah dianggap lebih memihak korporasi, dan hak masyarakat adat yang bertahun-tahun mengelola lahan tidak diakui. Di Sulawesi Selatan juga terjadi ketidakjelasan serupa: proses perpanjangan HGU PT Lonsum di Bulukumba sejak 2018 belum menyelesaikan tuntutan petani agar sebagian lahan rakyat dikeluarkan dari HGU perusahaan. Mediasi oleh BPN Sulsel pun belum menemukan solusi, karena kedua pihak sama-sama menganggap memiliki dasar hukum kuat atas klaimnya.
Ketimpangan Akses terhadap Instrumen Hukum Pertanahan
Persoalan clear and clean juga mencerminkan ketimpangan dalam akses instrumen hukum pertanahan. Misalnya, menurut Komnas Perempuan (2021) dari 44 juta bidang tanah terdaftar nasional, hanya sekitar 15,88% terdaftar atas nama perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa kendala sosial (misal pembagian warisan patriarkal) membuat perempuan sering tidak mengakses sertifikasi legal meski mengelola lahan pertanian. Di sisi geografis, pemerintah menargetkan 126 juta bidang tersertifikasi pada 2025, namun capaian PTSL 2024 masih berkutat di Jawa dan daerah mudah terjangkau; banyak lahan masyarakat adat di wilayah terpencil atau dalam kawasan hutan belum terverifikasi. Kepala BPN Papua menegaskan bahwa hingga 2023 baru sekitar 3.000 bidang lahan terverifikasi sertifikat karena kendala konflik, dokumen, dan mayoritas tanah berada dalam kawasan hutan. BPN Papua hanya dapat mensertifikasi lahan di luar hutan dan hak ulayat yang sudah menjadi milik pribadi, sedangkan ribuan bidang di pedalaman hutan adat belum disentuh. Dengan demikian, warga miskin, perempuan, dan masyarakat adat cenderung terpinggirkan: mereka sulit memenuhi prasyarat clear and clean sehingga berpeluang lebih kecil memperoleh perlindungan legal melalui sertifikat.
Saran Kebijakan Pertanahan yang Lebih Adil dan Inklusif
Untuk mewujudkan visi pertanahan nasional yang benar-benar adil dan inklusif, diperlukan beberapa perbaikan kebijakan. Pertama, pemerintah harus menegaskan pengakuan hak ulayat dan komunal secara menyeluruh sebelum proses legalisasi pertanahan, misalnya dengan meninjau kembali regulasi seperti Permen ATR No. 14/2024 agar tidak menjadi hambatan penyelesaian konflik. Pendekatan administrasi (surat dan sertifikat) perlu dipadukan dengan mekanisme mediasi atau restorasi agraria, sehingga pengurusan sertifikat dapat juga menjadi sarana penyelesaian sengketa, bukan hanya syarat yang menutup pelaporan konflik.
Kedua, perluasan akses pendataan pertanahan bagi kelompok rentan harus ditingkatkan. Pemerintah dan BPN dapat memperbanyak loket layanan bagi masyarakat terpencil, serta kampanye dan pendampingan hukum gratis bagi petani, nelayan, perempuan, dan komunitas adat. Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya mendorong kesetaraan gender dalam sertifikasi, misalnya memastikan sertifikat atas nama suami-istri bersama. Demikian pula, kawasan hutan adat yang telah dikelola masyarakat lama harus difasilitasi peta wilayahnya agar bisa diadministrasikan sebagai hak ulayat, tanpa menunggu konflik di kawasan hutan terselesaikan terlebih dahulu.
Ketiga, alih-alih hanya menargetkan kuantitas sertifikat, kebijakan pertanahan harus berpihak keadilan sosial. Forum Pertanahan Asia (Asia Land Forum 2025) merekomendasikan agar reforma agraria dijalankan sepenuhnya oleh negara tanpa dikembalikan kepada mekanisme pasar. Artinya, tanah negara dan lahan terlantar harus dialokasikan bagi petani kecil dan masyarakat adat, bukan semata untuk kepentingan korporasi. Kebijakan redistribusi dan kedaulatan pangan perlu dikuatkan, sambil tetap memperkuat penegakan hukum untuk menumpas mafia tanah di internal BPN. Dengan langkah-langkah tersebut —mengakui fakta sosial, memberi ruang partisipasi masyarakat adat, dan menjaga keadilan gender serta ekonomi— visi pertanahan “clear and clean” dapat direalisasikan secara lebih inklusif, sehingga tak hanya kepastian hukum yang terjamin, tapi juga rasa keadilan masyarakat terlindungi.
Daftar Pustaka: Dokumen resmi ATR/BPN, laporan berita nasional, serta analisis hukum dan kelola pertanahan (Walda A., Mongabay, Kompas, MetroTV, HuMa dll.) menunjukkan bahwa meski visi “Clear and Clean” dihadirkan untuk kepastian hukum, pelaksanaannya membutuhkan tindak lanjut kebijakan agar tidak mengorbankan keadilan agraria dan memicu konflik sosial. Penerapan yang mempertimbangkan fakta historis kepemilikan tanah oleh masyarakat adat dan petani akan menjadikan sertifikasi tanah benar-benar clear sekaligus clean dari sisi hukum dan kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar