Sejarah dan Ruang Lingkup HIR dan RBg
Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) merupakan produk hukum kolonial Belanda yang masih berlaku di Indonesia. HIR (Stbl. 1848/16 jo. 1941/44) berlaku khusus di Pulau Jawa dan Madura, sedangkan RBg (Stbl. 1927/227) berlaku di luar Jawa dan Madura. Keduanya mengatur hukum acara di Pengadilan Negeri (untuk penduduk pribumi), termasuk prosedur gugatan dan pemeriksaan perkara. Secara garis besar HIR memuat “hukum acara perdata maupun pidana” bagi Pengadilan Negeri di wilayah Jawa–Madura, sedangkan RBg memiliki ketentuan yang “pada garis besarnya sama dengan HIR” tapi diterapkan di daerah luar Jawa–Madura. Dengan demikian keberlakuan HIR dan RBg didasarkan atas pembagian wilayah hukum: HIR untuk dalam pulau Jawa/Madura, RBg untuk “daerah seberang”.
Isi Pokok dan Struktur Utama HIR serta RBg
HIR dan RBg terdiri dari pasal-pasal yang mengatur tahapan beracara di pengadilan: mulai dari formalitas mengajukan gugatan, pembelaan/eksepsi, pembuktian, persidangan pokok, hingga pelaksanaan putusan (eksekusi). HIR sendiri memuat 394 pasal. Beberapa konten penting dalam HIR/RBg adalah misalnya:
Pengajuan Gugatan: cara menyiapkan dan mendaftarkan gugatan, termasuk gugatan prodeo bagi pihak tak mampu (Pasal 120–121 HIR).
Kewenangan Pengadilan (kompetensi relativ/absolut): Pasal 118 HIR mengatur forum domisili (actor sequitur forum rei), sedangkan RBg memberi penekanan khusus misalnya Pasal 142 RBg yang mengatur bahwa apabila objek sengketa adalah tanah, gugatan dapat selalu diajukan di tempat tanah tersebut berada.
Pembuktian: HIR Pasal 163 (dan BW Pasal 1865) menetapkan bahwa beban pembuktian ada pada pihak yang menuntut suatu hak. Misalnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menegaskan bahwa “setiap Majelis Hakim harus memulainya dengan penerapan ketentuan hukum mengenai beban pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 163 HIR … (yang intinya) barang siapa yang menyatakan ia mempunyai sesuatu hak, wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa tersebut”.
Eksepsi dan Putusan Verstek: HIR juga mengatur kapan eksepsi kewenangan dipertimbangkan (Pasal 133 HIR), serta aturannya tentang putusan verstek (gugatan yang diputus tanpa hadirnya tergugat) (Pasal 123–124 HIR, dan pasal sepadan dalam RBg).
Eksekusi Putusan: Pasal 195 HIR (pasal 206 RBg) mengatur prosedur pelaksanaan putusan perdata. Sebagai contoh, pasal 195(1) HIR menyatakan bahwa “perkiraan pemeriksaan perkara perdata harus mendapat persetujuan dari tergugat” sebelum eksekusi, sedangkan RBg memiliki ketentuan paralel.
Selain itu, terdapat ketentuan lain terkait pemeriksaan permohonan (yurisdiksi volunter), penggabungan gugatan, dan seterusnya. Intinya, struktur HIR dan RBg sangat komprehensif dalam mengatur teknis beracara, meski sebagian ketentuannya telah tertutupi oleh perundangan nasional. Pada praktiknya juga sering dipergunakan Surat Edaran MA (SEMA) dan Peraturan MA sebagai pelengkap pengaturan dalam HIR/RBg.
Keberlakuan dalam Sistem Hukum Indonesia Kini
Setelah kemerdekaan, HIR dan RBg tetap diakui keberlakuannya berdasarkan ketentuan peralihan UUD 1945. Misalnya Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa undang-undang yang sudah ada tetap berlaku selama belum diganti secara hukum nasional. Oleh karena itu HIR dan RBg masih menjadi hukum acara perdata yang berlaku bagi pemeriksaan perkara antara penduduk pribumi (bumiputra) di PN, sesuai wilayahnya. Namun setelah lahirnya Undang-Undang KUHAP (UU No. 8/1981), maka bagian HIR yang mengatur hukum acara pidana dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Dengan kata lain, urusan hukum acara pidana kini diatur oleh KUHAP (dan undang-undang pidana lain), sehingga HIR/RBg hanya berlaku untuk perdata. (Demikian juga secara implisit ketentuan pidana RBg dihentikan berlakunya bersamaan dengan diberlakukannya KUHAP.)
Dengan demikian perkembangan terkini menyebutkan: (1) Hukum acara perdata bagi perkara di PN Jawa/Madura diatur HIR; bagi PN luar Jawa/Madura diatur RBg; (2) Hukum acara pidana di pengadilan umum tidak lagi mengikuti HIR/RBg melainkan KUHAP; (3) Peraturan baru secara bertahap mengisi kekosongan, misalnya banyak Undang-Undang sektoral yang mengatur aspek prosedural khusus (seperti pemeriksaan perkara keluarga di PA, pengajuan hak tunda, dsb). Sampai kini, belum ada pengganti tunggal HIR/RBg, sehingga pengadilan masih sering mempraktikkan rezim kolonial ini. Disusun juga RUU tentang Hukum Acara Perdata (pengajuan RUU HAP) untuk menyatukan berbagai aturan prosedural yang tersebar.
Penerapan dalam Praktik Peradilan
Dalam praktik, hakim dan panitera merujuk HIR atau RBg sesuai wewenang wilayahnya. Misalnya, kompetensi relatif biasanya dicari berdasarkan Pasal 118 HIR (domisili tergugat) atau Pasal 142 RBg (pengecualian untuk sengketa tanah). Sebuah sumber di PN Mentok mencatat: “Ketentuan HIR dalam hal ini berbeda dengan RBg. Menurut Pasal 142 RBg, apabila objek gugatan adalah tanah, maka gugatan selalu dapat diajukan kepada PN di mana tanah itu terletak”. Hal ini menunjukkan bahwa PN di luar Jawa cenderung memberi opsi tambahan (forum rei sitae) yang tidak tercantum eksplisit dalam HIR.
Selain itu, hakim juga mengutip norma pembuktian dari HIR. Contohnya, PN Jakarta Pusat (No. 147/Pdt.G/2024) mengutip Pasal 163 HIR untuk menegaskan bahwa “penggugat wajib membuktikan dalil-dalilnya” ketika mengajukan gugatan perdata. Ketentuan-ketentuan lain, seperti aturan mediasi atau forum sengketa perdata-agama (UU No. 1/1974), dijalankan dengan menyesuaikan HIR/RBg atau undang-undang khusus. Secara keseluruhan, pengadilan masih sering menyandarkan prosedur perdata pada HIR/RBg, baik dalam materi gugatan, eksepsi, pembuktian, maupun eksekusi.
Yurisprudensi Terkini
Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap juga memperlihatkan penggunaan HIR/RBg. Misalnya, sejumlah putusan mengonfirmasi asas actor sequitur forum rei (gugatan di pengadilan tempat tergugat tinggal) sebagaimana diatur Pasal 118 HIR, dan melihat pengecualian Pasal 142 RBg untuk tanah. Selain itu, MA dan pengadilan tingkat banding sering menegaskan bahwa beban pembuktian mengikuti HIR. Contohnya, putusan PN Jkt. Pusat menegaskan bahwa “beban pembuktian” ada pada pihak yang menuntut (mengutip HIR 163/KUHPerdata 1865). Meskipun putusan tingkat MA lebih jarang menyebut HIR/RBg secara eksplisit, keberadaan HIR/RBg tercermin dalam pedoman praktis hakim serta Kompilasi Kaidah Hukum Perdata.
Dalam praktik mutakhir juga terlihat bahwa permohonan keberatan eksekusi (pasal 195(6) HIR/206(6) RBg) masih menjadi bahan rujukan, dan Mahkamah Agung pernah menjadikan ketentuan HIR sebagai dasar putusan (misalnya MA No. 697 K/Sip/1974 terkait eksekusi). Keputusan MK terbaru bahkan menyebut Pasal 165 HIR dan 285 RBg dalam uji materi UU Jabatan Notaris (putusan 34/PUU-XXII/2024), menandakan bahwa ketentuan itu masih diukur kesesuaiannya dengan UUD (dan dinyatakan sah). Dengan kata lain, baik doktrin maupun praktik peradilan menunjukkan bahwa HIR dan RBg masih aktif dipakai sebagai dasar prosedur persidangan perdata, sambil menunggu pembaharuan hukum acara nasional.
Daftar Pustaka (contoh sumber): Informasi disusun berdasarkan teks HIR dan RBg serta literatur hukum Indonesia. Panduan praktek pengadilan (misalnya situs PN Mentok) dan yurisprudensi terkini juga dikaji. (Referensi utama: teks HIR/RBg, Hukumonline, LeIP, JDIH MA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar