Dalam hukum perdata Indonesia, khususnya menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), kedudukan istri dalam membuat perikatan tanpa izin suami bergantung pada beberapa faktor, seperti status perkawinan dalam sistem hukum (misalnya sistem percampuran harta atau pemisahan harta), serta apakah perikatan tersebut berkaitan dengan harta bersama atau tidak.
Penjelasannya:
1. Kedudukan Istri Menurut KUHPer
KUHPer masih memuat ketentuan bahwa suami adalah kepala keluarga dan mewakili istri dalam urusan hukum. Hal ini diatur dalam:
- Pasal 108 KUHPer: “Seorang istri tidak boleh, tanpa bantuan atau izin suaminya, mengadakan perjanjian, bahkan tidak juga untuk mengurus harta bendanya sendiri...”
Namun, aturan ini telah mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan hukum dan kesetaraan gender, terutama setelah berlakunya:
2. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Perkembangannya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan peraturan turunannya lebih menekankan asas kedudukan setara antara suami dan istri, sebagaimana diatur dalam:
- Pasal 31 ayat (1): “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.”
- Pasal 35: Harta benda dalam perkawinan dibagi menjadi:
Harta bersama (kecuali diperjanjikan lain);
Harta masing-masing suami dan istri sebelum menikah atau yang diperoleh sebagai warisan atau hibah.
Dengan demikian, secara normatif, istri berhak membuat perikatan secara mandiri, khususnya jika:
Perikatan itu menyangkut harta pribadinya;
Tidak ada perjanjian kawin yang menyatakan sebaliknya;
Atau perikatan dilakukan untuk kepentingan keluarga dan tidak melanggar hukum.
3. Yurisprudensi dan Praktik Pengadilan
Beberapa putusan pengadilan menyatakan bahwa perikatan yang dibuat oleh istri tanpa izin suami:
- Dapat dianggap sah jika menyangkut harta pribadi atau perikatan atas nama sendiri;
Namun, bisa dianggap tidak sah atau dibatalkan jika menyangkut harta bersama tanpa persetujuan suami, terutama dalam transaksi jual beli tanah atau perbuatan hukum yang menimbulkan risiko finansial besar.
Contoh: Dalam transaksi jual beli tanah yang merupakan harta bersama, persetujuan suami/istri diperlukan. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 yang mensyaratkan pernyataan persetujuan pasangan untuk peralihan hak atas tanah bersama.
4. Kesimpulan
Kedudukan istri dalam membuat perikatan tanpa izin suami bergantung pada:
Apakah perikatan itu menyangkut harta pribadi atau harta bersama;
Apakah ada perjanjian kawin atau sistem pemisahan harta;
Apakah tindakan tersebut menimbulkan risiko hukum bagi pihak lain (misalnya pihak ketiga dalam jual beli);
Dalam praktik, kehati-hatian tetap diperlukan, terutama untuk tindakan yang berkaitan dengan harta tidak bergerak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar