Perbedaan Frasa pada pasal yang mengatur "Barang siapa menjadi Setiap Orang " dalam KUHP Baru
Artikel
Dr. Sunardi, S. H., M. H
Sebentar lagi kita akan memasuki tahun 2026 dimana ada titik awal akan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru hasil karya anak bangsa Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 dan akan berlaku pada tanggal 2 Januari 2026, menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda.
Dalam menjawab relevansi hukum pidana dalam sistem hukum di Indonesia yang sudah banyak dipengaruhi perkembangan dari berbagai aspek hukum dan tehnogi, tentunya dengan terbitnya KUHP baru ini akan bisa memberikan rasa keadilan sebagaimana visi dan misi dibentuknya KUHP baru.
Ada beberapa perbedaan yang terkandung dalam KUHP baru, dan kali ini akan disajikan pembahasan tentang perbedaan Frasa pada pasal yang mengatur "Barang siapa menjadi Setiap Orang "
Perbedaan frasa "barang siapa" dalam KUHP lama (Wetboek van Strafrecht) dan KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) mencerminkan pergeseran paradigma hukum pidana Indonesia, baik dari segi bahasa hukum, konsep hukum pidana, maupun pendekatan terhadap subjek hukum.
1. KUHP Lama: “Barang siapa”
Dalam KUHP lama, frasa “barang siapa” digunakan secara luas untuk menunjuk siapa saja yang melakukan tindak pidana.
Asal-usul: Terjemahan dari bahasa Belanda “een ieder die” atau “hij die”.
Karakteristik:
Mengandung kesan formal dan kaku.
Tidak eksplisit menyebut subjek hukum secara langsung (manusia vs korporasi).
Terfokus pada perbuatan (actus reus), tidak menonjolkan peran pelaku sebagai subjek sosial atau hukum.
Contoh:
> Pasal 362 KUHP lama: “Barang siapa mengambil barang sesuatu...”
2. KUHP Baru: “Setiap Orang”
KUHP baru menggantikan “barang siapa” dengan istilah yang lebih modern dan inklusif, yaitu “setiap orang”.
Dasar perubahan:
Bahasa hukum yang lebih komunikatif dan sesuai dengan perkembangan perundang-undangan nasional.
“Setiap orang” telah menjadi standar dalam banyak UU sektoral (misal: UU ITE, UU Perlindungan Anak, dll).
Memungkinkan penerapan hukum pidana tidak hanya pada individu, tapi juga korporasi (lihat Pasal 45 KUHP Baru).
Kelebihan:
- Lebih jelas menunjuk subjek hukum: bisa orang perseorangan maupun badan hukum.
- Menghilangkan kesan kolonial dan menggambarkan semangat pembaruan hukum nasional.
- Memudahkan pemahaman publik dan aparat penegak hukum.
Contoh:
> Pasal 435 KUHP Baru: “Setiap orang yang melakukan pencurian...”
3. Implikasi Perubahan
Secara normatif: tidak mengubah substansi tindak pidananya, tetapi mempertegas subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Secara simbolik: memperlihatkan arah reformasi hukum nasional yang lebih demokratis, inklusif, dan membumi.
Secara praktis: mengakomodasi perkembangan seperti tindak pidana oleh korporasi, hukum pidana modern, dan perlindungan HAM.
Kesimpulan
Perubahan frasa dari "barang siapa" menjadi "setiap orang" dalam KUHP baru bukan sekadar kosmetik bahasa, tetapi mencerminkan transformasi sistem hukum pidana Indonesia ke arah:
lebih progresif,
lebih kontekstual dengan nilai-nilai nasional,
serta lebih kompatibel dengan perkembangan hukum internasional dan hukum sektoral nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar