KOPI HITAM

Senin, 05 Mei 2025

Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013: Makna Frasa “Segera” dalam Pasal 18(3) KUHAP

Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013: Makna Frasa “Segera” dalam Pasal 18(3) KUHAP

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 3/PUU-XI/2013 menelaah makna frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Latar belakang permohonan diawali oleh Hendry Batoarung Madika sebagai pemohon. Hendry diajukan tersangka kasus narkoba, namun keluarganya baru menerima tembusan surat perintah penangkapan 24 hari setelah penangkapan dilakukan. Upaya praperadilan yang diajukannya ditolak dengan alasan KUHAP tidak mengatur batas waktu makna “segera”. Dalam permohonan uji materi, Hendry berargumen bahwa penggunaan kata “segera” tanpa batas waktu konkret menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut pemohon, penerapan Pasal 18(3) yang “waktunya tidak pasti” itu *“tidak menjamin kepastian hukum karena warga negara diperlakukan tidak sama di depan hukum”*. Dengan kata lain, pemohon menilai frasa “segera” bersifat ambigu dan bertentangan dengan prinsip asas legalitas dan perlakuan yang sama di muka hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945).

Ketentuan yang diuji dalam perkara ini adalah Pasal 18 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi: *“Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.”*. Ketentuan tersebut mewajibkan penyidik menyerahkan salinan SP (Surat Perintah) penangkapan kepada keluarga tersangka “segera” setelah penangkapan. Pemohon Hendry mengajukan permohonan pengujian norma ini dengan alasan bahwa frasa “segera” tidak memiliki batas waktu tegas. Ketidakjelasan tersebut, menurut pemohon, mencederai prinsip kepastian hukum dan kepastian persidangan pidana yang adil. Sebagai akibatnya, tidak ada sanksi administrasi atau pidana bagi penyidik yang terlambat menyampaikan tembusan, sehingga hak tersangka atas perlindungan proses hukum menjadi terabaikan. Dalam posisi konstitusi, hal ini dapat terkait dengan Pasal 28D(1) UUD 1945 (kesamaan kedudukan hukum) dan Pasal 28I (perlakuan wajar dalam peradilan).

Pertimbangan Hukum Mahkamah: Makna “Segera”

Mahkamah Konstitusi mengakui pentingnya asas kepastian hukum dalam pelaksanaan proses pidana. Dalam pertimbangan putusan, Mahkamah mencatat bahwa “tidak adanya rumusan yang pasti mengenai lamanya waktu yang dimaksud dengan kata ‘segera’” dalam Pasal 18(3) KUHAP dapat menimbulkan berbagai penafsiran oleh penyidik setiap daerah. Ketidakpastian makna ini berpotensi “menimbulkan ketidakpastian hukum” dan *“penafsiran berbeda … yang selanjutnya dapat menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap tersangka”*. Dengan kata lain, Mahkamah menilai bahwa keluwesan istilah “segera” dapat mengakibatkan penerapan yang tidak konsisten dan merugikan prinsip keadilan substantif.

Untuk menghindari masalah tersebut, Mahkamah menerapkan asas interpretasi yang menyelamatkan undang-undang secara kondisional. Putusan menyatakan bahwa frasa “segera” harus dimaknai dengan batas waktu tertentu agar konstitusional. Mempertimbangkan perkembangan sarana komunikasi dan kondisi geografis wilayah Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa jangka waktu yang wajar bagi penyidik untuk menyampaikan tembusan SP penangkapan kepada keluarga tersangka adalah 7 (tujuh) hari. Dengan demikian, Mahkamah memutuskan bahwa Pasal 18 ayat (3) KUHAP *“bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari’”*. Dalam rumusan amar, Mahkamah menyatakan norma tersebut inkonstitusional bersyarat – tetap berlaku namun wajib ditafsirkan agar pemenuhan waktu tidak melebihi 7 hari.

Secara ringkas, Mahkamah menegaskan dua hal penting. Pertama, tanpa batasan waktu, kata “segera” menimbulkan makna yang tidak baku dan bertentangan dengan asas kepastian hukum. Kedua, agar hak tersangka terlindungi, frasa tersebut harus diartikan mengikat secara konkret: penyidik wajib menyerahkan tembusan SP penangkapan ke keluarga tersangka paling lambat 7 hari pasca-penangkapan. Pendekatan ini menjaga keberlakuan Pasal 18(3) KUHAP sambil memenuhi rasa keadilan konstitusional.

Implikasi Yuridis dan Konstitusional

Putusan ini memiliki beberapa implikasi penting terhadap tata kelola ketatanegaraan dan tugas lembaga penegak hukum. Secara yuridis, interpretasi 7 hari menjadi pedoman mengikat bagi aparat penyidikan. Pemerintah dan lembaga penegak hukum perlu memastikan prosedur internal menyesuaikan dengan ketentuan baru ini. Misalnya, Penyidik dan Kejaksaan harus segera melakukan koordinasi agar salinan surat perintah penangkapan diserahkan ke keluarga tersangka selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah penangkapan. Bahkan, pemerintah sudah menyusun Peraturan Pemerintah (PP No.92/2015) sebagai perubahan atas PP No.27/1983 tentang pelaksanaan KUHAP, diduga untuk mengakomodasi batas waktu yang ditetapkan MK. Dengan demikian, proses koordinasi antar-institusi penegakan hukum harus diperkuat, termasuk pemanfaatan sarana komunikasi cepat (misalnya notifikasi elektronik atau kiriman pos kilat) guna memenuhi tenggat 7 hari.

Secara konstitusional, putusan ini mempertegas prinsip kepastian hukum dan persamaan di depan hukum. Pemaknaan waktu maksimum 7 hari memberi perlindungan konkret pada hak tersangka untuk mendapatkan pemberitahuan penangkapan dari negara. Dengan menetapkan standar waktu, Mahkamah mencegah praktik sewenang penyidik yang bisa berbeda-beda di setiap wilayah. Hal ini menunjukkan pengarusutamaan nilai konstitusional dalam praktik ketatanegaraan: frasa subjektif harus memiliki margin definiteness yang melindungi hak asasi. Selain itu, posisi Mahkamah sebagai constitutional guardian ditunjukkan melalui sikap inkonstitusional bersyarat, yakni mengoreksi norma tanpa membatalkan keseluruhan undang-undang. Secara kelembagaan, putusan ini mengingatkan agar DPR dan eksekutif mengawasi konsistensi norma hukum dengan UUD 1945, serta mendorong revisi undang-undang atau peraturan pelaksana agar selaras dengan pertimbangan konstitusional.

Secara lebih luas, keputusan ini juga berpengaruh pada pelaksanaan asas peradilan yang cepat dan biaya ringan, karena batas waktu yang jelas mempercepat keterlibatan keluarga dan proses prapenahanan. Keputusan menguatkan kedudukan pemerintahan hukum (Rechtsstaat) Indonesia, di mana setiap kata dalam peraturan harus terukur akibat dan masa berlaku hukumnya. Putusan ini juga menjadi preseden bahwa istilah umum dalam hukum pidana akan dicermati ulang jika menimbulkan multitafsir. Secara yuridis, apabila dalam praktik aparat melampaui batas 7 hari, hal ini dapat dijadikan dasar gugatan ganti kerugian atau praperadilan untuk menuntut pertanggungjawaban (terbuka kemungkinan izin yudisial untuk tindakan serupa sejak adanya tafsir jelas Mahkamah).

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan analisis di atas, frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP perlu diartikan secara konkrit agar sesuai konstitusi. Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013 menyimpulkan bahwa kata tersebut harus dimaknai selambat-lambatnya 7 hari setelah penangkapan. Keputusan ini menegaskan kepastian hukum bagi tersangka dan keluarganya, sekaligus memerintahkan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti penafsiran tersebut.

Sebagai saran normatif, perlu dilakukan langkah-langkah berikut agar putusan tersebut efektif terlaksana. Misalnya:

  • Revisi UU KUHAP: Legislator hendaknya merevisi Pasal 18 ayat (3) KUHAP agar secara eksplisit memuat batas waktu 7 hari. Hal ini menghilangkan ketidakjelasan norma dan mengokohkan interpretasi MK di tingkat legislasi.
  • Penyempurnaan Peraturan Pemerintah: Pemerintah dapat memasukkan ketentuan operasional dalam PP KUHAP (seperti PP No.27/1983) tentang mekanisme penyerahan tembusan SP penangkapan sesuai tenggat waktu.
  • Pembinaan Internal Aparat: Kepolisian dan Kejaksaan perlu memperbarui SOP dan pelatihan agar seluruh penyidik memahami kewajiban “7 hari” dan konsekuensi pelanggarannya.
  • Pemantauan dan Sanksi: Lembaga pengawas (misalnya Ombudsman atau Pengawas Internal Kepolisian) seyogianya mengawasi kepatuhan waktu ini. Jika ditemukan kelalaian, dapat diberi sanksi administrasi atau diajukan ganti rugi melalui jalur hukum.

Dengan demikian, tafsir konstitusional frasa “segera” menjadi pedoman legal yang jelas. Langkah-langkah normatif di atas diharapkan memantapkan kepastian prosedur penyidikan sesuai putusan MK, sehingga asas peradilan cepat dan adil dapat terpenuhi secara konsisten.

Daftar Pustaka (dipilih) mencakup Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013 serta kajian yuridis terkait.

Tidak ada komentar:

PINGBOX saya