Selasa, 17 Juni 2025
Judul: Dinamika Hukum di Era Teknologi Modern 5.0: Tantangan dan Peluang Baru
Senin, 26 Mei 2025
Peran Sentral Logika Hukum dalam Pembuktian Perkara
Sabtu, 24 Mei 2025
Pembahasan tentang perbedaan Frasa pada pasal yang mengatur "Barang siapa menjadi Setiap Orang " dalam KUHP
Sabtu, 17 Mei 2025
Seragam dan Atribut Ormas
Kamis, 15 Mei 2025
Fenomena Kekosongan Hukum dalam Dinamika Sosial
Judul: Fenomena Kekosongan Hukum dalam Dinamika Sosial: Tantangan dan Strategi Responsif
Oleh: Dr. Sunardi, S.H.,M.H
Pendahuluan
Hukum idealnya menjadi sistem normatif yang mengatur perilaku masyarakat secara adil dan tertib. Namun, dalam kenyataannya, terdapat kondisi yang disebut kekosongan hukum (legal vacuum), yaitu saat suatu persoalan dalam masyarakat tidak diatur secara memadai oleh norma hukum yang berlaku. Kekosongan ini menjadi sumber ketidakpastian dan ketidakadilan dalam kehidupan bernegara. Artikel ini membahas penyebab, dampak, dan solusi atas kekosongan hukum, serta relevansinya dalam konteks Indonesia saat ini.
Penyebab Kekosongan Hukum
-
Perubahan Sosial dan Teknologi yang Cepat
Masyarakat mengalami transformasi sosial, ekonomi, dan teknologi yang jauh lebih cepat dari kemampuan legislasi. Contohnya adalah fenomena kriptoaset, kecerdasan buatan, dan digitalisasi data pribadi yang belum diatur secara utuh dalam sistem hukum nasional. -
Keterbatasan Legislasi
Proses pembentukan hukum yang panjang dan politis menyebabkan banyak norma yang tertinggal relevansinya. Celah hukum juga muncul karena perumusan pasal yang kabur atau tidak komprehensif. -
Pluralisme Hukum
Dalam negara dengan sistem hukum ganda seperti Indonesia (hukum negara, adat, agama), sering terjadi tumpang tindih atau bahkan kekosongan pengaturan karena batas yurisdiksi yang tidak jelas.
Dampak Kekosongan Hukum
-
Ketidakpastian Hukum
Masyarakat dan pelaku usaha tidak memiliki kepastian dalam mengambil keputusan, yang dapat menghambat investasi dan kepercayaan publik terhadap institusi negara. -
Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
Aparat penegak hukum dapat menafsirkan hukum secara subjektif, yang dapat membuka ruang untuk diskriminasi atau kriminalisasi sewenang-wenang. -
Ketidakadilan Sosial
Kelompok marginal sering menjadi korban karena tidak adanya perlindungan hukum yang eksplisit atas hak dan kepentingan mereka.
Respons terhadap Kekosongan Hukum
-
Penafsiran Progresif oleh Hakim
Dalam sistem civil law, hakim dapat mengisi kekosongan hukum dengan menggunakan analogi atau prinsip umum keadilan. Hal ini menuntut hakim yang visioner dan peka terhadap nilai-nilai sosial. -
Legislasi Adaptif dan Responsif
Pemerintah dan DPR perlu membentuk undang-undang yang lebih lincah dan partisipatif, termasuk membuka ruang bagi emergency law, perppu, atau peraturan teknis dari lembaga regulator. -
Peran Lembaga Non-Hukum
LSM, media, dan lembaga etika dapat mendorong terbentuknya hukum baru serta menjadi penyeimbang dalam menjaga kepentingan publik selama kekosongan hukum terjadi.
Studi Kasus: Indonesia
-
Pinjaman Online (Pinjol): Sebelum hadirnya regulasi khusus dari OJK, banyak kasus intimidasi penagihan dan pelanggaran privasi yang terjadi akibat kekosongan hukum dalam pengawasan layanan digital keuangan.
-
Cybercrime: UU ITE masih memiliki banyak celah dalam menghadapi modus kejahatan digital terbaru seperti deepfake, ransomware, dan serangan terhadap sistem infrastruktur vital.
-
Hukum Lingkungan: Di banyak daerah, kekosongan atau lemahnya peraturan daerah tentang tambang dan lingkungan hidup menyebabkan eksploitasi yang merusak ekosistem.
Kesimpulan
Kekosongan hukum merupakan tantangan nyata bagi negara hukum modern. Kecepatan perubahan sosial menuntut respons hukum yang tidak hanya cepat, tetapi juga adil dan partisipatif. Oleh karena itu, kolaborasi antara legislator, yudikatif, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi penting dalam mengisi kekosongan ini demi keadilan substantif dan kepastian hukum.
KAJIAN HUKUM PERTANAHAN VS SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH YANG DIKLAIM MERUPAKAN ASET DESA
Sabtu, 10 Mei 2025
Polemik Ijazah Presiden Joko Widodo: Kajian Hukum atas Legalitas Dokumen Negara dan Wewenang Legalisasi
Kamis, 08 Mei 2025
PENERAPAN POLMAS DALAM PENANGGULANGAN GANGGUAN TERHADAP IKLIM INVESTASI DI DAERAH
Rabu, 07 Mei 2025
KAJIAN HUKUM PERJANJIAN YANG DIBUAT TANPA IJIN SUAMI
Selasa, 06 Mei 2025
Kelalaian dan Kesengajaan Menurut Kajian Hukum Pidana
🇰 🇴 🇵 🇮 🇵 🇦 🇬 🇮
Artikel
Oleh Dr. Sunardi, SH., MH
Kelalaian dan Kesengajaan Menurut Kajian Hukum Pidana (Dengan Referensi Hukum Positif Indonesia)
1. Pendahuluan
Dalam hukum pidana Indonesia, pemidanaan terhadap seseorang tidak hanya berdasarkan perbuatannya, tetapi juga harus ada unsur kesalahan. Kesalahan dalam hukum pidana dibedakan menjadi dua bentuk utama, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Keduanya diatur dalam berbagai ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dipertegas melalui praktik peradilan (yurisprudensi).
2. Kesengajaan (Dolus)
Dasar Hukum:
Kesengajaan dapat kita temukan dalam berbagai pasal KUHP, antara lain:
- Pasal 338 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
- Pasal 187 KUHP: tentang pembakaran dengan sengaja.
Unsur Kesengajaan:
Menurut Prof. Moeljatno, kesengajaan dalam hukum pidana berarti pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dari perbuatannya.
Yurisprudensi:
- Putusan MA No. 1234 K/Pid/1992, menegaskan bahwa dolus eventualis cukup untuk mempertanggungjawabkan pelaku meski akibat bukan tujuan utama, asal akibat tersebut telah diperkirakan dan diterima.
3. Kelalaian (Culpa)
Pengertian
Kelalaian merupakan bentuk kesalahan di mana pelaku tidak memiliki niat melakukan tindak pidana, namun akibat yang timbul disebabkan oleh sikap tidak hati-hati atau lalainya dalam bertindak sesuai standar yang seharusnya.
Jenis-Jenis Kelalaian:
Culpa lata (kelalaian berat): Bentuk kelalaian yang menunjukkan kurangnya perhatian secara mencolok terhadap akibat dari perbuatannya.
Culpa levis (kelalaian ringan): Kelalaian yang terjadi karena kurangnya kehati-hatian biasa dari seseorang yang berakal sehat.
Culpa dengan kemungkinan (culpa met voorzienbaarheid): Pelaku seharusnya dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya akibat, namun mengabaikannya.
Culpa tanpa kemungkinan (culpa zonder voorzienbaarheid): Pelaku tidak memperkirakan akibat, padahal seharusnya mampu.
Contoh: Seorang pengemudi lalai melihat lampu merah dan menabrak pejalan kaki.
Dasar Hukum:
Kelalaian terdaoat dalam pasal-pasal tertentu dalam KUHP, antara lain:
- Pasal 359 KUHP: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, dihukum dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
- Pasal 360 KUHP: tentang luka berat karena kelalaian.
Unsur Kelalaian:
Menurut R. Soesilo, kelalaian terjadi bila pelaku tidak menghendaki atau tidak menyadari akibat dari perbuatannya, tetapi seharusnya dapat menduga akibat tersebut.
Yurisprudensi:
- Putusan MA No. 792 K/Pid/1990, menyatakan bahwa pengemudi yang melanggar rambu lalu lintas dan menyebabkan korban jiwa dapat dijatuhi pidana atas dasar culpa.
4. Perbandingan dan Implikasi Yuridis
Perbedaan ini mempengaruhi jenis pidana yang dikenakan dan seberapa besar pembuktian dibutuhkan dalam pengadilan.
5. Penutup
Dalam hukum pidana Indonesia, perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian bersifat esensial untuk menentukan bentuk pertanggungjawaban pidana. Dengan merujuk pada KUHP dan yurisprudensi Mahkamah Agung, pemahaman ini membantu penegak hukum dalam membedakan intensi pelaku dan menentukan hukuman yang adil sesuai dengan kadar kesalahannya.
Senin, 05 Mei 2025
Konsep dan Tujuan Visi “Clear and Clean” ATR/BPN
Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013: Makna Frasa “Segera” dalam Pasal 18(3) KUHAP
Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013: Makna Frasa “Segera” dalam Pasal 18(3) KUHAP
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 3/PUU-XI/2013 menelaah makna frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Latar belakang permohonan diawali oleh Hendry Batoarung Madika sebagai pemohon. Hendry diajukan tersangka kasus narkoba, namun keluarganya baru menerima tembusan surat perintah penangkapan 24 hari setelah penangkapan dilakukan. Upaya praperadilan yang diajukannya ditolak dengan alasan KUHAP tidak mengatur batas waktu makna “segera”. Dalam permohonan uji materi, Hendry berargumen bahwa penggunaan kata “segera” tanpa batas waktu konkret menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut pemohon, penerapan Pasal 18(3) yang “waktunya tidak pasti” itu *“tidak menjamin kepastian hukum karena warga negara diperlakukan tidak sama di depan hukum”*. Dengan kata lain, pemohon menilai frasa “segera” bersifat ambigu dan bertentangan dengan prinsip asas legalitas dan perlakuan yang sama di muka hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945).
Ketentuan yang diuji dalam perkara ini adalah Pasal 18 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi: *“Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.”*. Ketentuan tersebut mewajibkan penyidik menyerahkan salinan SP (Surat Perintah) penangkapan kepada keluarga tersangka “segera” setelah penangkapan. Pemohon Hendry mengajukan permohonan pengujian norma ini dengan alasan bahwa frasa “segera” tidak memiliki batas waktu tegas. Ketidakjelasan tersebut, menurut pemohon, mencederai prinsip kepastian hukum dan kepastian persidangan pidana yang adil. Sebagai akibatnya, tidak ada sanksi administrasi atau pidana bagi penyidik yang terlambat menyampaikan tembusan, sehingga hak tersangka atas perlindungan proses hukum menjadi terabaikan. Dalam posisi konstitusi, hal ini dapat terkait dengan Pasal 28D(1) UUD 1945 (kesamaan kedudukan hukum) dan Pasal 28I (perlakuan wajar dalam peradilan).
Pertimbangan Hukum Mahkamah: Makna “Segera”
Mahkamah Konstitusi mengakui pentingnya asas kepastian hukum dalam pelaksanaan proses pidana. Dalam pertimbangan putusan, Mahkamah mencatat bahwa “tidak adanya rumusan yang pasti mengenai lamanya waktu yang dimaksud dengan kata ‘segera’” dalam Pasal 18(3) KUHAP dapat menimbulkan berbagai penafsiran oleh penyidik setiap daerah. Ketidakpastian makna ini berpotensi “menimbulkan ketidakpastian hukum” dan *“penafsiran berbeda … yang selanjutnya dapat menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap tersangka”*. Dengan kata lain, Mahkamah menilai bahwa keluwesan istilah “segera” dapat mengakibatkan penerapan yang tidak konsisten dan merugikan prinsip keadilan substantif.
Untuk menghindari masalah tersebut, Mahkamah menerapkan asas interpretasi yang menyelamatkan undang-undang secara kondisional. Putusan menyatakan bahwa frasa “segera” harus dimaknai dengan batas waktu tertentu agar konstitusional. Mempertimbangkan perkembangan sarana komunikasi dan kondisi geografis wilayah Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa jangka waktu yang wajar bagi penyidik untuk menyampaikan tembusan SP penangkapan kepada keluarga tersangka adalah 7 (tujuh) hari. Dengan demikian, Mahkamah memutuskan bahwa Pasal 18 ayat (3) KUHAP *“bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari’”*. Dalam rumusan amar, Mahkamah menyatakan norma tersebut inkonstitusional bersyarat – tetap berlaku namun wajib ditafsirkan agar pemenuhan waktu tidak melebihi 7 hari.
Secara ringkas, Mahkamah menegaskan dua hal penting. Pertama, tanpa batasan waktu, kata “segera” menimbulkan makna yang tidak baku dan bertentangan dengan asas kepastian hukum. Kedua, agar hak tersangka terlindungi, frasa tersebut harus diartikan mengikat secara konkret: penyidik wajib menyerahkan tembusan SP penangkapan ke keluarga tersangka paling lambat 7 hari pasca-penangkapan. Pendekatan ini menjaga keberlakuan Pasal 18(3) KUHAP sambil memenuhi rasa keadilan konstitusional.
Implikasi Yuridis dan Konstitusional
Putusan ini memiliki beberapa implikasi penting terhadap tata kelola ketatanegaraan dan tugas lembaga penegak hukum. Secara yuridis, interpretasi 7 hari menjadi pedoman mengikat bagi aparat penyidikan. Pemerintah dan lembaga penegak hukum perlu memastikan prosedur internal menyesuaikan dengan ketentuan baru ini. Misalnya, Penyidik dan Kejaksaan harus segera melakukan koordinasi agar salinan surat perintah penangkapan diserahkan ke keluarga tersangka selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah penangkapan. Bahkan, pemerintah sudah menyusun Peraturan Pemerintah (PP No.92/2015) sebagai perubahan atas PP No.27/1983 tentang pelaksanaan KUHAP, diduga untuk mengakomodasi batas waktu yang ditetapkan MK. Dengan demikian, proses koordinasi antar-institusi penegakan hukum harus diperkuat, termasuk pemanfaatan sarana komunikasi cepat (misalnya notifikasi elektronik atau kiriman pos kilat) guna memenuhi tenggat 7 hari.
Secara konstitusional, putusan ini mempertegas prinsip kepastian hukum dan persamaan di depan hukum. Pemaknaan waktu maksimum 7 hari memberi perlindungan konkret pada hak tersangka untuk mendapatkan pemberitahuan penangkapan dari negara. Dengan menetapkan standar waktu, Mahkamah mencegah praktik sewenang penyidik yang bisa berbeda-beda di setiap wilayah. Hal ini menunjukkan pengarusutamaan nilai konstitusional dalam praktik ketatanegaraan: frasa subjektif harus memiliki margin definiteness yang melindungi hak asasi. Selain itu, posisi Mahkamah sebagai constitutional guardian ditunjukkan melalui sikap inkonstitusional bersyarat, yakni mengoreksi norma tanpa membatalkan keseluruhan undang-undang. Secara kelembagaan, putusan ini mengingatkan agar DPR dan eksekutif mengawasi konsistensi norma hukum dengan UUD 1945, serta mendorong revisi undang-undang atau peraturan pelaksana agar selaras dengan pertimbangan konstitusional.
Secara lebih luas, keputusan ini juga berpengaruh pada pelaksanaan asas peradilan yang cepat dan biaya ringan, karena batas waktu yang jelas mempercepat keterlibatan keluarga dan proses prapenahanan. Keputusan menguatkan kedudukan pemerintahan hukum (Rechtsstaat) Indonesia, di mana setiap kata dalam peraturan harus terukur akibat dan masa berlaku hukumnya. Putusan ini juga menjadi preseden bahwa istilah umum dalam hukum pidana akan dicermati ulang jika menimbulkan multitafsir. Secara yuridis, apabila dalam praktik aparat melampaui batas 7 hari, hal ini dapat dijadikan dasar gugatan ganti kerugian atau praperadilan untuk menuntut pertanggungjawaban (terbuka kemungkinan izin yudisial untuk tindakan serupa sejak adanya tafsir jelas Mahkamah).
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan analisis di atas, frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP perlu diartikan secara konkrit agar sesuai konstitusi. Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013 menyimpulkan bahwa kata tersebut harus dimaknai selambat-lambatnya 7 hari setelah penangkapan. Keputusan ini menegaskan kepastian hukum bagi tersangka dan keluarganya, sekaligus memerintahkan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti penafsiran tersebut.
Sebagai saran normatif, perlu dilakukan langkah-langkah berikut agar putusan tersebut efektif terlaksana. Misalnya:
- Revisi UU KUHAP: Legislator hendaknya merevisi Pasal 18 ayat (3) KUHAP agar secara eksplisit memuat batas waktu 7 hari. Hal ini menghilangkan ketidakjelasan norma dan mengokohkan interpretasi MK di tingkat legislasi.
- Penyempurnaan Peraturan Pemerintah: Pemerintah dapat memasukkan ketentuan operasional dalam PP KUHAP (seperti PP No.27/1983) tentang mekanisme penyerahan tembusan SP penangkapan sesuai tenggat waktu.
- Pembinaan Internal Aparat: Kepolisian dan Kejaksaan perlu memperbarui SOP dan pelatihan agar seluruh penyidik memahami kewajiban “7 hari” dan konsekuensi pelanggarannya.
- Pemantauan dan Sanksi: Lembaga pengawas (misalnya Ombudsman atau Pengawas Internal Kepolisian) seyogianya mengawasi kepatuhan waktu ini. Jika ditemukan kelalaian, dapat diberi sanksi administrasi atau diajukan ganti rugi melalui jalur hukum.
Dengan demikian, tafsir konstitusional frasa “segera” menjadi pedoman legal yang jelas. Langkah-langkah normatif di atas diharapkan memantapkan kepastian prosedur penyidikan sesuai putusan MK, sehingga asas peradilan cepat dan adil dapat terpenuhi secara konsisten.
Daftar Pustaka (dipilih) mencakup Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013 serta kajian yuridis terkait.
Sabtu, 03 Mei 2025
KEBERLAKUAN HIR DAN RBG DALAM SISTEM PERADILAN SAAT INI
Kamis, 01 Mei 2025
Pembuktian Perbuatan Pelanggaran Pidana yang Berkaitan Erat dengan Aspek Hubungan Keperdataan
- Tujuan hukum pidana adalah perlindungan terhadap kepentingan umum melalui penghukuman terhadap pelaku kejahatan, sementara hukum perdata melindungi hak-hak individu melalui mekanisme ganti rugi atau pemulihan.
- Dalam hukum pidana berlaku asas nullum crimen sine lege dan in dubio pro reo, sedangkan dalam hukum perdata berlaku asas keadilan dan keseimbangan para pihak.
- Penipuan dalam transaksi jual beli
- Penggelapan dalam hubungan fidusia atau kuasa
- Pemalsuan dokumen dalam sengketa tanah Dalam perkara semacam ini, hubungan hukum awal adalah perdata, namun akibat perbuatan tertentu (misalnya menyembunyikan objek fidusia atau membuat pernyataan palsu), timbul unsur delik pidana.
- Pembuktian dalam hukum pidana menuntut standar tinggi (beyond reasonable doubt).
- Alat bukti seperti perjanjian, kuitansi, surat pernyataan, sering digunakan untuk membuktikan niat atau mens rea pelaku.
- Peran ahli hukum perdata kadang dibutuhkan dalam persidangan pidana untuk menilai keabsahan perikatan.
Rabu, 30 April 2025
Keakraban PDIH Angkatan 15 Unissula Semarang
Kadangkala kami rindu untuk bisa berkumpul lagi di kelas seperti saat itu, namun kita sudah dengan kesibukan masing-masing, tapi biarlah foto ini sebagai kenangan bagi kami.
HAJI 2022
Segala puji kami haturkan kehairat Allah Swt atas segala nikmat dan karunia yg telah kami peroleh darinya, dan pada kesempatan musim haji tahun ini insya Allah kami bisa berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji bersama istri dan anak kami.
Mohon doa dan restu keberangkatan kami ke tanah suci, dan sebelumnya kami memohon maaf atas segala salah dan dosa yang telah kami perbuat baik yang disengaja maupun tidak disengaja, karena kami sebagai manusia tidak akan luput dari salah dan dosa.
Semoga saudara-saudara kita yang belum mendapatkan kesempatan tahun ini, Allah swt akan memberikan jalan pada kesempatan berikutnya, amiin.
Kebebasan Berekspresi dan Keadilan Digital
🇰 🇴 🇵 🇮 🇵 🇦 🇬 🇮
Oleh : Dr. Sunardi, SH., MH
Judul Artikel
"Kebebasan Berekspresi dan Keadilan Digital"
Dalam era informasi digital, hak atas kebebasan berpendapat (Pasal 28E(3) UUD 1945) sangat kuat. Namun kebebasan ini tidak absolut; tetap ada batas hukum guna melindungi reputasi, keamanan, dan hak orang lain. Misalnya, UU ITE (UU No. 11/2008 yang telah diperbarui menjadi UU No. 1/2024) dirancang untuk mencegah penyalahgunaan ekspresi publik, seperti penyebaran hoaks atau ujaran kebencian. Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa perlindungan privasi dan jaminan kebebasan berpendapat harus seimbang secara proporsional. Dengan kata lain, setiap tindak pidana digital harus memenuhi asas lex certa (ketentuan pasti) sehingga hak-hak sipil tidak dibatasi secara berlebihan.
Isu keaslian ijazah Presiden Republik Indonesia sering menjadi polemik di ruang publik. Tuduhan “ijazah palsu” terhadap Presiden Joko Widodo hanya berdasarkan dugaan tanpa bukti valid merupakan contoh argumen keliru (argumentum ad ignorantiam). Secara hukum, tanggung jawab pembuktian ada pada pihak yang menuduh; tanpa bukti, tuduhan tersebut gugur secara otomatis. Selain itu, mekanisme hukum sudah tersedia: menurut UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Presiden sebagai penyelenggara negara adalah badan publik, sehingga informasi keaslian ijazahnya termasuk informasi publik yang bisa dimohonkan. Dengan demikian, polemik ijazah bukanlah soal konspirasi melainkan masalah fakta yang seharusnya diselesaikan lewat permohonan informasi resmi, bukan penyebaran opini tanpa verifikasi.
Intisari Putusan MK 105/PUU-XXII/2024
Pada 29 April 2025, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU ITE (UU 1/2024) dalam perkara No. 105/PUU-XXII/2024. Pemohon (Daniel F.M. Tangkilisan) menguji Pasal 27A dan 28(2) UU ITE beserta ketentuan pidananya terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Mahkamah menilai norma pencemaran nama baik digital semula (Pasal 27A) rentan disalahgunakan karena frasa “orang lain” tidak memiliki batas tegas. Oleh karena itu MK menegaskan bahwa Pasal 27A UU ITE dan Pasal 45(4) hanya berlaku jika korban pencemaran adalah orang perseorangan, bukan lembaga atau jabatan publik. Dengan kata lain, lembaga pemerintah, korporasi, kelompok, profesi, atau jabatan yang diwakili seseorang tidak termasuk dalam objek pasal tersebut.
Selain itu, MK mempersempit cakupan pasal ujaran kebencian (Pasal 28(2)/45A(2) UU ITE). Norma semula dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika ditafsirkan tanpa pembatasan; MK memerintahkan agar frasa terkait “penyebaran kebencian” dipahami hanya untuk informasi elektronik yang secara substansial berisi penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu, dilakukan sengaja di muka umum, dan menimbulkan risiko nyata diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Dengan penafsiran baru ini, ungkapan netral atau kritik biasa tidak otomatis memenuhi unsur pidana ujaran kebencian, kecuali memang memenuhi kriteria khusus tersebut.
Implikasi Putusan MK: Ruang Publik dan Negara Hukum
Putusan MK 105 membawa konsekuensi penting bagi ruang publik dan kebebasan berekspresi. Pertama, institusi negara atau korporasi dilarang menggunakan UU ITE untuk mengadu kasus pencemaran nama baik; hanya individu korban yang boleh melapor. Artinya, lembaga pemerintah tidak dapat lagi mempidanakan kritik atau penghinaan kepada institusi dengan pasal pencemaran nama baik ITE. Langkah ini membuka ruang bagi masyarakat untuk lebih bebas memberikan kritik kepada penguasa, tanpa takut langsung dijerat pidana ITE. Pemerintah sendiri menyambut putusan ini sebagai “kabar baik” bagi kebebasan berpendapat, meski mengingatkan agar ekspresi publik tetap berlandaskan tanggung jawab dan fakta. Dengan demikian, Putusan MK 105 mendorong budaya diskusi yang lebih terbuka, namun juga menegaskan pentingnya etika dalam menyampaikan pendapat.
Kedua, putusan ini memperkuat prinsip negara hukum dengan menegaskan asas kepastian hukum (legal certainty). MK menegaskan bahwa norma pidana harus bersifat jelas dan tidak boleh dipakai secara sewenang-wenang. Dalam pertimbangan putusan lain terkait UU ITE, MK bahkan menyinggung prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta agar hukum tidak multitafsir. Dengan batasan tegas di pasal ITE, aparat penegak hukum diharapkan lebih objektif dan tidak sembarangan menetapkan seseorang sebagai tersangka hanya berdasarkan ekspresi publik yang ambigu. Singkatnya, putusan ini mengawal bahwa setiap pembatasan ekspresi harus berlandaskan hukum tertulis yang jelas, selaras dengan konsep negara hukum yang adil.
Kesimpulan
Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 memberikan kejelasan bahwa aturan pidana di dunia maya tidak boleh menyasar entitas non-personal. Larangan pengaduan pencemaran nama baik oleh institusi memperluas ruang demokrasi digital, sedangkan penafsiran sempit terhadap ujaran kebencian melindungi opini sah dari kriminalisasi. Bagi mahasiswa hukum, kasus ini menjadi pelajaran penting: penegakan prinsip keadilan dan kepastian hukum (negara hukum) harus dijaga bersama kebebasan publik. Dalam situasi informasi yang cepat dan luas, pendekatan hukum yang proporsional dan cermat seperti keputusan MK ini sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan perlindungan hukum terhadap reputasi.
Sumber hukum: Putusan MK 105/PUU-XXII/2024 tentang UU ITE (UU No. 1/2024); UU No. 14 Tahun 2008 (KIP); Pendapat dan pertimbangan MK serta sumber hukum terkait seperti UU No. 11/2008 (ITE), UU 1946, dan UUD 1945.