KOPI HITAM

Senin, 26 Mei 2025

Peran Sentral Logika Hukum dalam Pembuktian Perkara

Artikel
Dr. Sunardi, S.H.,M.H

Dalam konteks pembuktian perkara, logika hukum memainkan peran sentral karena menentukan bagaimana hakim, jaksa, dan pengacara menyusun, menilai, dan menyimpulkan kebenaran dari suatu peristiwa hukum berdasarkan alat bukti yang tersedia. Pengaruh logika hukum dalam pembuktian perkara meliputi aspek penalaran deduktif, induktif, dan argumentatif, yang seluruhnya berpadu untuk mencapai kebenaran hukum (truth-seeking). Berikut penjelasan sistematisnya:


1. Logika Deduktif: Mengaitkan Fakta dengan Norma

Hakim menilai bukti dengan kerangka silogisme hukum:

• Premis mayor: Norma hukum (misalnya Pasal dalam KUHP atau KUHPerdata).

• Premis minor: Fakta yang telah terbukti (berdasarkan alat bukti).

Kesimpulan: Apakah unsur delik atau peristiwa hukum terpenuhi.


Contoh:

Premis mayor: Pasal 378 KUHP menyatakan bahwa penipuan adalah perbuatan menyampaikan keterangan palsu untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain.

Premis minor: Terdakwa menyampaikan data keuangan fiktif untuk mendapatkan dana dari korban.

Kesimpulan: Unsur penipuan terpenuhi.

Kekuatan logika deduktif: konsistensi antara fakta dan norma memastikan putusan adil secara formil.


2. Logika Induktif: Menyusun Fakta dari Bukti yang Terserak

Seringkali, tidak semua fakta tersedia secara langsung. Maka hakim harus menyimpulkan fakta dari:

• Saksi,

• Surat,

• Keterangan ahli,

• Petunjuk,

• Keterangan terdakwa/penggugat/tergugat.


Di sinilah logika induktif bekerja: dari bukti-bukti parsial, disusun gambaran utuh tentang peristiwa.

Contoh:

Tidak ada saksi langsung pembunuhan, tapi terdapat sidik jari, rekaman CCTV, dan motif.

Hakim menyimpulkan keterlibatan terdakwa secara probabilistik tinggi dan logis.

Catatan penting: logika induktif dalam hukum bersifat tidak absolut, namun harus memenuhi asas “beyond reasonable doubt” dalam pidana, atau “preponderance of evidence” dalam perdata.

3. Logika Argumentatif: Mempengaruhi Penilaian Hakim

Advokat dan jaksa menyusun argumen hukum yang kuat:

- Menyusun narasi sebab-akibat,

- Menolak atau melemahkan validitas alat bukti lawan (misalnya mempertanyakan relevansi, keaslian, atau prosedurnya),

- Membandingkan dengan yurisprudensi atau doktrin hukum.

Di sinilah logika retoris dan dialektika hukum berperan—menjadikan pembuktian bukan sekadar teknis, tetapi juga seni berargumentasi.


4. Logika Penilaian Hakim (Inner Conviction)

Dalam sistem pembuktian conviction intime (keyakinan hakim), seperti di Indonesia, hakim tidak hanya melihat alat bukti secara kuantitas, tetapi juga kualitas dan koherensinya.

Logika hukum membantu hakim menilai:

- Apakah bukti saling mendukung atau bertentangan?

- Apakah kesimpulan logis dapat ditarik?

- Apakah narasi hukum masuk akal dalam konteks sosial dan hukum?


Ini menunjukkan bahwa logika hukum adalah fondasi nalar hakim dalam mengaitkan antara alat bukti dan keyakinannya terhadap kebenaran.


5. Korelasi dengan Asas Pembuktian

Logika hukum menopang asas-asas pembuktian:

• Asas lex specialis: bukti yang khusus mengalahkan yang umum.

• Asas in dubio pro reo: jika terdapat keraguan, maka diputuskan untuk keuntungan terdakwa (logika kehati-hatian).

• Asas beban pembuktian: siapa yang mendalilkan, dia yang harus membuktikan (logika beban logis).


Kesimpulan

Logika hukum sangat memengaruhi proses pembuktian perkara dengan cara:

√ Menstrukturkan hubungan antara norma dan fakta (deduktif),

√ Menyusun gambaran peristiwa dari bukti tidak langsung (induktif),

√ Menyusun argumen hukum yang rasional dan persuasif (argumentatif),

√ Membantu hakim mencapai keyakinan yang logis dan sah secara hukum.

Dengan demikian, pembuktian dalam hukum bukan hanya soal berapa banyak bukti, tetapi seberapa logis dan meyakinkan bukti itu dirangkai dalam sistem hukum yang berlaku.

Sabtu, 24 Mei 2025

Pembahasan tentang perbedaan Frasa pada pasal yang mengatur "Barang siapa menjadi Setiap Orang " dalam KUHP

Perbedaan Frasa pada pasal yang mengatur "Barang siapa menjadi Setiap Orang " dalam KUHP Baru

Artikel 
Dr. Sunardi, S. H., M. H

Sebentar lagi kita akan memasuki tahun 2026 dimana ada titik awal akan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru hasil karya anak bangsa Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 dan akan berlaku pada tanggal 2 Januari 2026, menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda. 
Dalam menjawab relevansi hukum pidana dalam sistem hukum di Indonesia yang sudah banyak dipengaruhi perkembangan dari berbagai aspek hukum dan tehnogi, tentunya dengan terbitnya KUHP baru ini akan bisa memberikan rasa keadilan sebagaimana visi dan misi dibentuknya KUHP baru. 
Ada beberapa perbedaan yang terkandung dalam KUHP baru, dan kali ini akan disajikan pembahasan tentang perbedaan Frasa pada pasal yang mengatur "Barang siapa menjadi Setiap Orang "

Perbedaan frasa "barang siapa" dalam KUHP lama (Wetboek van Strafrecht) dan KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) mencerminkan pergeseran paradigma hukum pidana Indonesia, baik dari segi bahasa hukum, konsep hukum pidana, maupun pendekatan terhadap subjek hukum.


1. KUHP Lama: “Barang siapa”

Dalam KUHP lama, frasa “barang siapa” digunakan secara luas untuk menunjuk siapa saja yang melakukan tindak pidana.

Asal-usul: Terjemahan dari bahasa Belanda “een ieder die” atau “hij die”.

Karakteristik:

Mengandung kesan formal dan kaku.

Tidak eksplisit menyebut subjek hukum secara langsung (manusia vs korporasi).

Terfokus pada perbuatan (actus reus), tidak menonjolkan peran pelaku sebagai subjek sosial atau hukum.

Contoh:

> Pasal 362 KUHP lama: “Barang siapa mengambil barang sesuatu...”


2. KUHP Baru: “Setiap Orang”

KUHP baru menggantikan “barang siapa” dengan istilah yang lebih modern dan inklusif, yaitu “setiap orang”.

Dasar perubahan:

Bahasa hukum yang lebih komunikatif dan sesuai dengan perkembangan perundang-undangan nasional.

“Setiap orang” telah menjadi standar dalam banyak UU sektoral (misal: UU ITE, UU Perlindungan Anak, dll).

Memungkinkan penerapan hukum pidana tidak hanya pada individu, tapi juga korporasi (lihat Pasal 45 KUHP Baru).


Kelebihan:

- Lebih jelas menunjuk subjek hukum: bisa orang perseorangan maupun badan hukum.

- Menghilangkan kesan kolonial dan menggambarkan semangat pembaruan hukum nasional.

- Memudahkan pemahaman publik dan aparat penegak hukum.

Contoh:

> Pasal 435 KUHP Baru: “Setiap orang yang melakukan pencurian...”


3. Implikasi Perubahan

Secara normatif: tidak mengubah substansi tindak pidananya, tetapi mempertegas subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban.

Secara simbolik: memperlihatkan arah reformasi hukum nasional yang lebih demokratis, inklusif, dan membumi.

Secara praktis: mengakomodasi perkembangan seperti tindak pidana oleh korporasi, hukum pidana modern, dan perlindungan HAM.



Kesimpulan

Perubahan frasa dari "barang siapa" menjadi "setiap orang" dalam KUHP baru bukan sekadar kosmetik bahasa, tetapi mencerminkan transformasi sistem hukum pidana Indonesia ke arah:

lebih progresif,

lebih kontekstual dengan nilai-nilai nasional,

serta lebih kompatibel dengan perkembangan hukum internasional dan hukum sektoral nasional.

Sabtu, 17 Mei 2025

Seragam dan Atribut Ormas

🇰 🇴 🇵 🇮 🇭 🇮 🇹 🇦 🇲 
Atribut Ormas dan Batasannya: Antara Identitas dan Ancaman Simbolik

Artikel 
Dr. Sunardi, S.H., M.H

Di tengah maraknya organisasi kemasyarakatan (ormas) yang tumbuh dan beraktivitas di ruang publik, pakaian dan atribut sering kali menjadi simbol identitas dan kekuatan. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua simbol boleh digunakan secara bebas. Negara memiliki batasan yang jelas terkait hal ini demi menjaga ketertiban dan menghindari penyalahgunaan simbol kekuasaan.

Mengapa Atribut Ormas Perlu Diatur?

Atribut, seragam, dan lambang merupakan bagian penting dari identitas ormas. Sayangnya, dalam banyak kasus, atribut yang digunakan menyerupai seragam militer atau kepolisian. Ini menimbulkan kebingungan, bahkan ketakutan, di tengah masyarakat. Tidak jarang, atribut dipakai untuk menunjukkan dominasi atau menebar intimidasi dalam unjuk rasa, penggalangan massa, hingga aksi sweeping.

Landasan Hukum: UU Ormas dan Larangan Atribut Militeristik

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (yang telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2017) menegaskan larangan ini secara eksplisit:

Pasal 59 ayat (3): Ormas dilarang menggunakan nama, lambang, atau atribut yang menyerupai institusi negara atau ormas lain.

Pasal 59 ayat (4): Ormas dilarang menggunakan atribut militer atau menyerupai seragam TNI dan Polri.


Pelanggaran terhadap aturan ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi bisa merujuk pada pelanggaran pidana, apalagi jika disertai tindakan kekerasan atau penyalahgunaan wewenang simbolik.

Maklumat Kapolri dan Aturan Tambahan

Kepolisian melalui Maklumat Kapolri No. MAK/1/I/2021 juga memperingatkan masyarakat agar tidak menggunakan simbol atau atribut organisasi yang telah dilarang, terutama jika terkait paham radikalisme atau potensi mengganggu keamanan nasional.

Sanksi: Tidak Sekadar Teguran

Bagi individu atau kelompok yang melanggar aturan tersebut, sanksinya bisa berupa:

Sanksi administratif: pembubaran organisasi, pencabutan status badan hukum.

Sanksi pidana: termasuk penjara bagi mereka yang memakai atribut resmi negara secara tidak sah, sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU Ormas.


Menjaga Ketertiban, Bukan Membungkam Ekspresi

Perlu ditekankan bahwa regulasi ini tidak ditujukan untuk membungkam ekspresi ormas, melainkan memastikan bahwa tidak ada simbol kekuasaan yang disalahgunakan. Atribut bukan sekadar kain dan lambang—ia bisa menjadi alat mobilisasi, manipulasi, bahkan penindasan jika tidak dikontrol secara adil dan tegas.


KOPI HITAM meyakini bahwa ormas berperan penting dalam demokrasi. Namun kekuatan sosial ini harus dikelola dengan etika, tanggung jawab, dan patuh terhadap hukum. Atribut adalah bagian dari komunikasi publik, maka jangan sampai jadi senjata yang mengancam ruang hidup bersama.

Kamis, 15 Mei 2025

Fenomena Kekosongan Hukum dalam Dinamika Sosial

Judul: Fenomena Kekosongan Hukum dalam Dinamika Sosial: Tantangan dan Strategi Responsif

Oleh: Dr. Sunardi, S.H.,M.H


Pendahuluan

Hukum idealnya menjadi sistem normatif yang mengatur perilaku masyarakat secara adil dan tertib. Namun, dalam kenyataannya, terdapat kondisi yang disebut kekosongan hukum (legal vacuum), yaitu saat suatu persoalan dalam masyarakat tidak diatur secara memadai oleh norma hukum yang berlaku. Kekosongan ini menjadi sumber ketidakpastian dan ketidakadilan dalam kehidupan bernegara. Artikel ini membahas penyebab, dampak, dan solusi atas kekosongan hukum, serta relevansinya dalam konteks Indonesia saat ini.


Penyebab Kekosongan Hukum

  1. Perubahan Sosial dan Teknologi yang Cepat
    Masyarakat mengalami transformasi sosial, ekonomi, dan teknologi yang jauh lebih cepat dari kemampuan legislasi. Contohnya adalah fenomena kriptoaset, kecerdasan buatan, dan digitalisasi data pribadi yang belum diatur secara utuh dalam sistem hukum nasional.

  2. Keterbatasan Legislasi
    Proses pembentukan hukum yang panjang dan politis menyebabkan banyak norma yang tertinggal relevansinya. Celah hukum juga muncul karena perumusan pasal yang kabur atau tidak komprehensif.

  3. Pluralisme Hukum
    Dalam negara dengan sistem hukum ganda seperti Indonesia (hukum negara, adat, agama), sering terjadi tumpang tindih atau bahkan kekosongan pengaturan karena batas yurisdiksi yang tidak jelas.


Dampak Kekosongan Hukum

  • Ketidakpastian Hukum
    Masyarakat dan pelaku usaha tidak memiliki kepastian dalam mengambil keputusan, yang dapat menghambat investasi dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

  • Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
    Aparat penegak hukum dapat menafsirkan hukum secara subjektif, yang dapat membuka ruang untuk diskriminasi atau kriminalisasi sewenang-wenang.

  • Ketidakadilan Sosial
    Kelompok marginal sering menjadi korban karena tidak adanya perlindungan hukum yang eksplisit atas hak dan kepentingan mereka.


Respons terhadap Kekosongan Hukum

  1. Penafsiran Progresif oleh Hakim
    Dalam sistem civil law, hakim dapat mengisi kekosongan hukum dengan menggunakan analogi atau prinsip umum keadilan. Hal ini menuntut hakim yang visioner dan peka terhadap nilai-nilai sosial.

  2. Legislasi Adaptif dan Responsif
    Pemerintah dan DPR perlu membentuk undang-undang yang lebih lincah dan partisipatif, termasuk membuka ruang bagi emergency law, perppu, atau peraturan teknis dari lembaga regulator.

  3. Peran Lembaga Non-Hukum
    LSM, media, dan lembaga etika dapat mendorong terbentuknya hukum baru serta menjadi penyeimbang dalam menjaga kepentingan publik selama kekosongan hukum terjadi.


Studi Kasus: Indonesia

  • Pinjaman Online (Pinjol): Sebelum hadirnya regulasi khusus dari OJK, banyak kasus intimidasi penagihan dan pelanggaran privasi yang terjadi akibat kekosongan hukum dalam pengawasan layanan digital keuangan.

  • Cybercrime: UU ITE masih memiliki banyak celah dalam menghadapi modus kejahatan digital terbaru seperti deepfake, ransomware, dan serangan terhadap sistem infrastruktur vital.

  • Hukum Lingkungan: Di banyak daerah, kekosongan atau lemahnya peraturan daerah tentang tambang dan lingkungan hidup menyebabkan eksploitasi yang merusak ekosistem.


Kesimpulan

Kekosongan hukum merupakan tantangan nyata bagi negara hukum modern. Kecepatan perubahan sosial menuntut respons hukum yang tidak hanya cepat, tetapi juga adil dan partisipatif. Oleh karena itu, kolaborasi antara legislator, yudikatif, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi penting dalam mengisi kekosongan ini demi keadilan substantif dan kepastian hukum.

KAJIAN HUKUM PERTANAHAN VS SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH YANG DIKLAIM MERUPAKAN ASET DESA

KAJIAN HUKUM TERHADAP STATUS TANAH BALAI DESA YANG DIKLAIM OLEH AHLI WARIS DAN TELAH DIALIHKAN KEPADA PIHAK KETIGA

Oleh 
Dr. Sunardi, S.H.,M.H

Abstrak

Kajian ini membahas sengketa kepemilikan tanah yang digunakan sebagai balai desa, namun diklaim oleh ahli waris pemilik awal berdasarkan leter C. Permasalahan menjadi kompleks ketika ahli waris telah menjual tanah tersebut dengan akta jual beli yang sah. Di sisi lain, pemerintah desa tetap mengklaim tanah sebagai aset desa berdasarkan pencatatan NOP. Kajian ini menganalisis validitas hukum masing-masing pihak berdasarkan peraturan agraria, tata kelola aset desa, dan yurisprudensi.

Kata Kunci: Tanah Desa, Aset Desa, Leter C, Akta Jual Beli, NOP, Sengketa Kepemilikan

I. Pendahuluan

Permasalahan yang dikaji dalam dokumen ini berkaitan dengan status kepemilikan tanah yang selama ini digunakan sebagai lokasi balai desa. Tanah tersebut diklaim oleh para ahli waris pemilik awal dengan menunjukkan alas hak berupa leter C, dan kemudian dijual kepada pihak ketiga melalui akta jual beli notaris. Kepala desa sebelumnya, dengan persetujuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan diketahui oleh Camat, menyerahkan tanah tersebut kepada ahli waris. Namun, kepala desa berikutnya tetap mengakui tanah tersebut sebagai aset desa berdasarkan pencatatan NOP.

II. Permasalahan Hukum

1. Apakah leter C dapat dijadikan bukti kepemilikan tanah oleh ahli waris?


2. Apakah akta jual beli dari ahli waris kepada pihak ketiga memiliki kekuatan hukum mengikat?


3. Apakah pencatatan NOP atas nama desa cukup untuk membuktikan status tanah sebagai aset desa?


4. Bagaimana kedudukan hukum antara AJB dan klaim aset desa berdasarkan NOP?



III. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)


2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa


3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa


4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah


5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)



IV. Analisis Hukum

1. Leter C sebagai Dasar Klaim Leter C merupakan alat bukti administratif atas penguasaan tanah secara turun-temurun. Meski bukan sertifikat, dalam kondisi tidak ada dokumen hak milik lain, leter C bisa menjadi bukti awal yang sah untuk mengklaim kepemilikan.


2. Akta Jual Beli sebagai Bukti Peralihan Hak AJB yang dibuat di hadapan PPAT merupakan bukti sah peralihan hak atas tanah. Jika tanah dijual berdasarkan leter C dan tidak ada keberatan yang sah dari desa saat pembuatan AJB, maka hak atas tanah telah berpindah kepada pembeli.


3. Klaim Aset Desa Berdasarkan NOP NOP hanya digunakan untuk keperluan perpajakan dan tidak serta-merta menunjukkan status kepemilikan. Klaim aset desa yang hanya berdasarkan NOP tanpa didukung sertifikat atau bukti pencatatan dalam register aset desa tidak cukup kuat di mata hukum.


4. Kedudukan Hukum AJB vs NOP Dalam pertentangan antara AJB dan NOP, AJB memiliki kekuatan hukum lebih tinggi sebagai alat bukti otentik. NOP hanya dapat mendukung bukti lain, tetapi tidak berdiri sendiri sebagai bukti kepemilikan.



V. Yurisprudensi Terkait

Putusan MA No. 2556 K/Pdt/2005: Leter C sah digunakan sebagai bukti awal kepemilikan jika tidak ada sertifikat yang bertentangan.

Putusan MA No. 2786 K/Pdt/2012: NOP tidak dapat dijadikan dasar tunggal kepemilikan.

Putusan PTUN Jakarta No. 78/G/2010/PTUN.JKT: Penggunaan tanah oleh desa tanpa alas hak sah tidak menghapus hak pihak lain.


VI. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Leter C dan AJB sah digunakan untuk menunjukkan dan memindahkan hak atas tanah.


2. NOP bukan alat bukti kepemilikan tanah.


3. Klaim desa hanya sah jika disertai bukti tertulis yang sah dan pencatatan resmi aset.



Rekomendasi:

Dilakukan klarifikasi terhadap status tanah melalui BPN.

Jika diperlukan, penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur hukum atau mediasi.

Pemerintah desa sebaiknya melakukan penertiban dan sertifikasi aset untuk menghindari konflik serupa di masa depan.

Sabtu, 10 Mei 2025

Polemik Ijazah Presiden Joko Widodo: Kajian Hukum atas Legalitas Dokumen Negara dan Wewenang Legalisasi




Artikel
Dr. Sunardi, S.H.,M.H

JUDUL:

Polemik Ijazah Presiden Joko Widodo: Kajian Hukum atas Legalitas Dokumen Negara dan Wewenang Legalisasi

Abstrak

Polemik mengenai keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo telah menjadi perdebatan publik yang melibatkan opini politis dan yuridis. Kajian ini bertujuan untuk menelaah legalitas dokumen ijazah dari perspektif hukum administrasi negara, hukum pembuktian, dan asas legalitas. Dengan metode yuridis normatif, penelitian ini menyimpulkan bahwa legalisasi ijazah merupakan kewenangan eksklusif lembaga pendidikan yang bersangkutan, dan pernyataan keabsahan oleh institusi resmi memiliki kedudukan sebagai bukti otentik dalam sistem hukum Indonesia. Polemik tanpa dasar pembuktian hukum tidak dapat menggugurkan validitas dokumen negara, bahkan berpotensi menjadi tindak pidana penyebaran informasi palsu.

Kata Kunci: Ijazah, Legalitas Dokumen, Presiden, Pembuktian, Hukum Administrasi Negara


I. Pendahuluan

Polemik mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo yang muncul di ruang publik menjadi fenomena menarik dalam kajian hukum administrasi dan hukum pembuktian. Di tengah arus informasi digital yang cenderung tidak terverifikasi, isu ini menimbulkan spekulasi dan asumsi liar yang mempengaruhi persepsi publik terhadap otentisitas dokumen negara. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis isu ini secara yuridis agar tidak terjebak dalam narasi politis yang tidak berdasar.


II. Kerangka Teoritis dan Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang mengkaji peraturan perundang-undangan terkait legalitas dokumen dan pembuktian hukum. Teori yang digunakan meliputi:

Asas legalitas dalam hukum administrasi negara

Teori kewenangan negara (theory of competence)

Teori hukum pembuktian, khususnya terkait dokumen otentik dalam sistem hukum perdata dan pidana Indonesia.



III. Analisis Hukum

1. Legalitas Dokumen Ijazah Menurut Hukum Positif

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbudristek No. 1 Tahun 2022, penerbitan ijazah adalah wewenang lembaga pendidikan. Legalitas dokumen tersebut hanya dapat dibantah dengan pembuktian sebaliknya yang sah dan meyakinkan di hadapan hukum. Dalam kasus ijazah Presiden Jokowi, lembaga penerbit (Universitas Gadjah Mada) serta Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah menyatakan keaslian dokumen tersebut.

2. Kedudukan Hukum Legalisasi dan Pembuktian Otentik

Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan bahwa akta otentik adalah alat bukti yang sempurna. Legalisasi oleh lembaga resmi adalah bentuk autentikasi yang memiliki kekuatan pembuktian hukum. Maka, bila suatu ijazah telah dilegalisasi oleh pihak berwenang, keberlakuan hukumnya tidak dapat dikesampingkan oleh opini atau tuduhan tak berdasar.

3. Polemik dalam Ruang Publik dan Implikasinya

Polemik yang berlandaskan asumsi tanpa alat bukti valid bukan hanya tidak berdampak hukum terhadap keabsahan dokumen negara, tetapi dapat mengarah pada pelanggaran hukum. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 dan UU ITE, penyebaran informasi palsu dapat dikenakan sanksi pidana, termasuk fitnah terhadap simbol negara seperti Presiden.


IV. Diskusi Kritis

Polemik ini mencerminkan krisis literasi hukum di masyarakat. Ketidaktahuan tentang mekanisme legalisasi dokumen dan otoritas lembaga negara menyebabkan spekulasi menjadi konsumsi publik. Oleh karena itu, edukasi hukum harus ditingkatkan agar publik memahami perbedaan antara opini politis dan fakta hukum.


V. Kesimpulan

1. Legalitas ijazah Presiden Jokowi secara hukum adalah sah dan didukung oleh pembuktian otentik dari lembaga berwenang.


2. Lembaga pendidikan memiliki kewenangan penuh untuk menerbitkan dan mengesahkan ijazah, serta menyatakan keabsahannya.


3. Polemik publik tanpa dasar pembuktian hukum tidak dapat menggugurkan validitas dokumen negara.


4. Penyebaran isu tidak berdasar berpotensi melanggar hukum pidana dan perlu penegakan hukum yang tegas.


5. Perlu penguatan literasi hukum masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh narasi politik yang menyesatkan.





Daftar Pustaka

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Peraturan Mendikbudristek No. 1 Tahun 2022

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)



Kamis, 08 Mei 2025

PENERAPAN POLMAS DALAM PENANGGULANGAN GANGGUAN TERHADAP IKLIM INVESTASI DI DAERAH

KAJIAN AKADEMIK

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB BUPATI DALAM PENERAPAN PERPOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS) UNTUK MENANGGULANGI GANGGUAN TERHADAP IKLIM INVESTASI DI DAERAH

I. PENDAHULUAN

Iklim investasi yang sehat dan kondusif merupakan salah satu syarat utama bagi kemajuan ekonomi daerah. Keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi faktor kunci yang memengaruhi kepercayaan investor terhadap suatu wilayah. Dalam konteks ini, pendekatan perpolisian masyarakat (Polmas) menjadi instrumen strategis dalam menjaga stabilitas sosial dan mencegah terjadinya gangguan keamanan yang dapat menghambat investasi. Bupati sebagai pemegang kekuasaan eksekutif daerah memiliki peran sentral dalam menginisiasi dan mengimplementasikan program Polmas sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan yang responsif dan partisipatif.

II. LANDASAN HUKUM

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pasal 3: Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pasal 13: Tugas Pokok Polri termasuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum.



2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 65 ayat (2) huruf d: Kepala daerah wajib menjaga ketenteraman dan ketertiban masyarakat.



3. Permendagri Nomor 26 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat

Menekankan peran aktif kepala daerah dalam kolaborasi dengan aparat penegak hukum, termasuk pendekatan partisipatif dalam menjaga ketertiban.



4. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pemolisian Masyarakat

Pasal 2: Pemolisian masyarakat bertujuan untuk membangun kemitraan antara Polri dan masyarakat dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pasal 4: Polmas dilaksanakan melalui pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, serta kerjasama dengan pemerintah daerah dan lembaga terkait.

Pasal 6: Pemerintah daerah, termasuk kepala daerah, didorong untuk mengintegrasikan program Polmas dalam kebijakan pembangunan daerah.




III. PENGERTIAN DAN PRINSIP PERPOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS)

Perpolisian masyarakat (Polmas) adalah pendekatan pemolisian berbasis komunitas, di mana masyarakat berperan aktif sebagai mitra dalam menjaga keamanan dan ketertiban bersama aparat kepolisian dan pemerintah daerah. Prinsip utama Polmas meliputi:

Kemitraan antara masyarakat, pemerintah, dan polisi

Pencegahan sebagai prioritas utama

Solusi atas masalah lokal berbasis dialog dan kolaborasi


IV. PERAN DAN TANGGUNG JAWAB BUPATI DALAM IMPLEMENTASI POLMAS

1. Menyusun kebijakan daerah yang mendukung penerapan Polmas di tingkat desa/kelurahan, khususnya pada kawasan strategis ekonomi dan investasi.


2. Mendorong pembentukan forum komunikasi masyarakat dan aparat keamanan untuk deteksi dini konflik atau gangguan ketertiban.


3. Menyediakan anggaran dalam APBD untuk pelatihan, sosialisasi, dan penguatan kapasitas masyarakat dan aparat desa dalam penerapan prinsip Polmas.


4. Berperan aktif dalam pelaksanaan program Polmas bersama Polres dan institusi lain sesuai dengan Perpol Nomor 1 Tahun 2021.


5. Berkolaborasi dengan Polres dan Kodim melalui Forkopimda untuk sinergi kebijakan keamanan berbasis komunitas.



V. DAMPAK POLMAS TERHADAP IKLIM INVESTASI

Meningkatkan rasa aman bagi pelaku usaha melalui keterlibatan masyarakat dalam menjaga ketertiban.

Menurunkan potensi konflik horizontal yang dapat menghambat investasi.

Membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah sebagai penjamin stabilitas ekonomi.

Mempermudah deteksi dini terhadap praktik pungutan liar, premanisme, dan intervensi kelompok kepentingan lokal.


VI. STRATEGI PENGUATAN PERAN BUPATI

Menyusun Peraturan Bupati (Perbup) tentang implementasi Polmas dalam pengelolaan keamanan kawasan industri dan perdagangan.

Mengintegrasikan program Polmas dengan RPJMD dan rencana investasi daerah.

Mendorong pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan organisasi kepemudaan dalam pembinaan lingkungan aman investasi.

Mengadakan forum konsultasi dan dialog publik antara pemda, aparat keamanan, investor, dan masyarakat.

Menjadikan Perpol Nomor 1 Tahun 2021 sebagai acuan dalam menyelaraskan program Polmas dengan kebijakan daerah.


VII. PENUTUP

Penerapan perpolisian masyarakat yang efektif sangat bergantung pada komitmen dan peran aktif Bupati sebagai pemegang otoritas tertinggi pemerintahan daerah. Dengan mendorong kolaborasi antara masyarakat, aparat penegak hukum, dan pelaku usaha, Polmas dapat menjadi instrumen yang ampuh dalam menjaga ketertiban sosial dan menciptakan iklim investasi yang berkelanjutan dan inklusif. Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2021 memberikan kerangka hukum yang jelas bagi sinergi antara pemerintah daerah dan kepolisian dalam membangun keamanan berbasis komunitas.

Rabu, 07 Mei 2025

KAJIAN HUKUM PERJANJIAN YANG DIBUAT TANPA IJIN SUAMI

Dalam hukum perdata Indonesia, khususnya menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), kedudukan istri dalam membuat perikatan tanpa izin suami bergantung pada beberapa faktor, seperti status perkawinan dalam sistem hukum (misalnya sistem percampuran harta atau pemisahan harta), serta apakah perikatan tersebut berkaitan dengan harta bersama atau tidak.

Penjelasannya:

1. Kedudukan Istri Menurut KUHPer

KUHPer masih memuat ketentuan bahwa suami adalah kepala keluarga dan mewakili istri dalam urusan hukum. Hal ini diatur dalam:

- Pasal 108 KUHPer: “Seorang istri tidak boleh, tanpa bantuan atau izin suaminya, mengadakan perjanjian, bahkan tidak juga untuk mengurus harta bendanya sendiri...”

Namun, aturan ini telah mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan hukum dan kesetaraan gender, terutama setelah berlakunya:

2. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Perkembangannya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan peraturan turunannya lebih menekankan asas kedudukan setara antara suami dan istri, sebagaimana diatur dalam:

- Pasal 31 ayat (1): “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.”

- Pasal 35: Harta benda dalam perkawinan dibagi menjadi:

Harta bersama (kecuali diperjanjikan lain);

Harta masing-masing suami dan istri sebelum menikah atau yang diperoleh sebagai warisan atau hibah.

Dengan demikian, secara normatif, istri berhak membuat perikatan secara mandiri, khususnya jika:

Perikatan itu menyangkut harta pribadinya;

Tidak ada perjanjian kawin yang menyatakan sebaliknya;

Atau perikatan dilakukan untuk kepentingan keluarga dan tidak melanggar hukum.

3. Yurisprudensi dan Praktik Pengadilan

Beberapa putusan pengadilan menyatakan bahwa perikatan yang dibuat oleh istri tanpa izin suami:

- Dapat dianggap sah jika menyangkut harta pribadi atau perikatan atas nama sendiri;

Namun, bisa dianggap tidak sah atau dibatalkan jika menyangkut harta bersama tanpa persetujuan suami, terutama dalam transaksi jual beli tanah atau perbuatan hukum yang menimbulkan risiko finansial besar.

Contoh: Dalam transaksi jual beli tanah yang merupakan harta bersama, persetujuan suami/istri diperlukan. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 yang mensyaratkan pernyataan persetujuan pasangan untuk peralihan hak atas tanah bersama.


4. Kesimpulan

Kedudukan istri dalam membuat perikatan tanpa izin suami bergantung pada:

Apakah perikatan itu menyangkut harta pribadi atau harta bersama;

Apakah ada perjanjian kawin atau sistem pemisahan harta;

Apakah tindakan tersebut menimbulkan risiko hukum bagi pihak lain (misalnya pihak ketiga dalam jual beli);

Dalam praktik, kehati-hatian tetap diperlukan, terutama untuk tindakan yang berkaitan dengan harta tidak bergerak.

Selasa, 06 Mei 2025

Kelalaian dan Kesengajaan Menurut Kajian Hukum Pidana

🇰 🇴 🇵 🇮 🇵 🇦 🇬 🇮

Artikel

Oleh Dr. Sunardi, SH., MH


Kelalaian dan Kesengajaan Menurut Kajian Hukum Pidana (Dengan Referensi Hukum Positif Indonesia)

1. Pendahuluan

Dalam hukum pidana Indonesia, pemidanaan terhadap seseorang tidak hanya berdasarkan perbuatannya, tetapi juga harus ada unsur kesalahan. Kesalahan dalam hukum pidana dibedakan menjadi dua bentuk utama, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Keduanya diatur dalam berbagai ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dipertegas melalui praktik peradilan (yurisprudensi).


2. Kesengajaan (Dolus)

Pengertian
Kesengajaan merupakan bentuk kesalahan di mana pelaku menyadari sepenuhnya bahwa perbuatannya dilarang dan dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum, namun tetap melakukannya. Kesengajaan menunjukkan adanya kehendak atau niat (mens rea) dalam melakukan perbuatan pidana.

Jenis-Jenis Kesengajaan:

Dolus directus (kesengajaan sebagai maksud): Pelaku secara sadar dan aktif menghendaki terjadinya akibat dari tindakannya.

Dolus indirectus (kesengajaan sebagai kepastian): Pelaku mengetahui akibat pasti akan terjadi dan tetap melakukan tindakan tersebut.

Dolus eventualis (kesengajaan sebagai kemungkinan): Pelaku menyadari kemungkinan timbulnya akibat, namun tidak menghindarinya dan tetap melanjutkan perbuatan.

Contoh: Seseorang menembak orang lain dengan niat membunuh (dolus directus), atau membakar rumah yang diketahuinya ada orang di dalamnya (dolus indirectus).

Dasar Hukum:
Kesengajaan dapat kita temukan dalam berbagai pasal KUHP, antara lain:

  • Pasal 338 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
  • Pasal 187 KUHP: tentang pembakaran dengan sengaja.

Unsur Kesengajaan:
Menurut Prof. Moeljatno, kesengajaan dalam hukum pidana berarti pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dari perbuatannya.

Yurisprudensi:

  • Putusan MA No. 1234 K/Pid/1992, menegaskan bahwa dolus eventualis cukup untuk mempertanggungjawabkan pelaku meski akibat bukan tujuan utama, asal akibat tersebut telah diperkirakan dan diterima.

3. Kelalaian (Culpa)

Pengertian
Kelalaian merupakan bentuk kesalahan di mana pelaku tidak memiliki niat melakukan tindak pidana, namun akibat yang timbul disebabkan oleh sikap tidak hati-hati atau lalainya dalam bertindak sesuai standar yang seharusnya.

Jenis-Jenis Kelalaian:

Culpa lata (kelalaian berat): Bentuk kelalaian yang menunjukkan kurangnya perhatian secara mencolok terhadap akibat dari perbuatannya.

Culpa levis (kelalaian ringan): Kelalaian yang terjadi karena kurangnya kehati-hatian biasa dari seseorang yang berakal sehat.

Culpa dengan kemungkinan (culpa met voorzienbaarheid): Pelaku seharusnya dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya akibat, namun mengabaikannya.

Culpa tanpa kemungkinan (culpa zonder voorzienbaarheid): Pelaku tidak memperkirakan akibat, padahal seharusnya mampu.

Contoh: Seorang pengemudi lalai melihat lampu merah dan menabrak pejalan kaki.

Dasar Hukum:
Kelalaian terdaoat  dalam pasal-pasal tertentu dalam KUHP, antara lain:

  • Pasal 359 KUHP: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, dihukum dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
  • Pasal 360 KUHP: tentang luka berat karena kelalaian.

Unsur Kelalaian:
Menurut R. Soesilo, kelalaian terjadi bila pelaku tidak menghendaki atau tidak menyadari akibat dari perbuatannya, tetapi seharusnya dapat menduga akibat tersebut.

Yurisprudensi:

  • Putusan MA No. 792 K/Pid/1990, menyatakan bahwa pengemudi yang melanggar rambu lalu lintas dan menyebabkan korban jiwa dapat dijatuhi pidana atas dasar culpa.

4. Perbandingan dan Implikasi Yuridis

Perbedaan ini mempengaruhi jenis pidana yang dikenakan dan seberapa besar pembuktian dibutuhkan dalam pengadilan.


5. Penutup

Dalam hukum pidana Indonesia, perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian bersifat esensial untuk menentukan bentuk pertanggungjawaban pidana. Dengan merujuk pada KUHP dan yurisprudensi Mahkamah Agung, pemahaman ini membantu penegak hukum dalam membedakan intensi pelaku dan menentukan hukuman yang adil sesuai dengan kadar kesalahannya.

Senin, 05 Mei 2025

Konsep dan Tujuan Visi “Clear and Clean” ATR/BPN

Konsep dan Tujuan Visi “Clear and Clean” ATR/BPN

Kementerian ATR/BPN mengusung visi pengelolaan pertanahan yang “clear and clean”, yakni agar setiap bidang tanah memiliki kepastian kepemilikan yang jelas dan bebas sengketa.  Dalam visi ini, status clear and clean diartikan sebagai tanah yang tidak sedang dalam keadaan bermasalah atau konflik.  Tujuan utamanya adalah memberikan kepastian hukum atas hak atas tanah sehingga dapat mendukung percepatan pembangunan (misalnya kawasan strategis nasional) dan meningkatkan iklim investasi.  Misalnya, saat merencanakan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara Menteri ATR/BPN menegaskan lahan IKN harus “clean and clear” agar pengelolaan selanjutnya lebih lancar. 

 *Ilustrasi rencana kota IKN Nusantara yang direncanakan dengan status lahan “clean and clear” untuk kepastian hukum pertanahan.  Dalam praktiknya, prinsip clear and clean dijadikan prasyarat pengeluaran sertifikat atau izin pertanahan, dengan harapan pemilik tanah sudah jelas secara administratif sebelum sertifikat diterbitkan.

Implementasi dalam Sertifikasi dan Legalisasi Aset Tanah

Untuk mewujudkan visi tersebut, ATR/BPN melaksanakan program sertifikasi massal seperti Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan menerbitkan sertifikat elektronik.  Hingga 2024, pemerintah mengklaim telah mengeluarkan sertifikat PTSL sekitar 117,9 juta bidang tanah secara nasional.  Selain itu, sertifikat elektronik diperluas ke seluruh kantor pertanahan.  Dalam prosedur ini, setiap bidang yang didata harus memenuhi syarat clear and clean, artinya belum ada konflik kepemilikan.  Contohnya, Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18/2021 tentang pendaftaran HGU mengharuskan pemohon menyatakan bahwa lahan yang diurus “tidak terdapat keberatan dari pihak lain” atas tanah tersebut.  Tanpa pernyataan clean and clear, izin seperti HGU (Hak Guna Usaha) tidak dapat terbit.  Demikian pula, skema sertifikat gratis (PTM3/PTSL) mensyaratkan tanah tidak sedang bermasalah agar penerbitannya valid (daerah bermasalah ditunda).  Dengan demikian, secara formal legalitas lahan ditekankan pada pemenuhan dokumen dan pernyataan resmi sebelum pengesahan sertifikat atau hak pengelolaan diterbitkan.

Dominasi Formalitas Hukum vs Fakta Sosial Historis

Namun prasyarat clear and clean yang berbasis formalitas hukum seringkali mengabaikan realitas historis sosial kepemilikan tanah.  Ketika hak masyarakat adat atau petani tidak memiliki akta formal, status lahan mereka dinilai “sulit dibersihkan” secara administratif.  Beberapa kalangan menyoroti bahwa Peraturan ATR/BPN teranyar terkait tanah ulayat (Permen 14/2024) malah mensyaratkan tanah adat harus bebas sengketa dulu untuk diadministrasikan.  Padahal, dalam praktiknya justru pengakuan hak ulayat sering kali menjadi bagian dari penyelesaian sengketa lahan—misalnya tumpang tindih HGU atau izin korporasi lainnya di wilayah adat.  Seperti dikritik, banyak komunitas adat mengajukan pengakuan hak ulayat untuk meredam konflik, namun regulasi menuntut kondisi clean and clean sehingga proses administrasi tidak dapat berjalan tanpa konflik terselesaikan terlebih dahulu.  Kondisi ini menunjukkan keberpihakan sistem hukum formal: hak legal tercatat di atas kertas dianggap lebih sah daripada kepemilikan tradisional yang tidak tercatat, sehingga fakta sosial masyarakat adat sering diabaikan dalam praktik administrasi pertanahan.

Kasus Nyata: Konflik dan Pengabaian Hak Komunitas

Berbagai kasus aktual di Indonesia menggambarkan dampak negatif pendekatan clear and clean.  Misalnya, sengketa masyarakat Desa Setiamekar (Bekasi) pada awal 2025: ratusan keluarga yang memiliki SHM (sertifikat hak milik) tanah dipaksa dikosongkan meski telah diverifikasi kantor pertanahan “clean and clear” atas sertifikat mereka. Hal ini memicu dugaan mafia tanah karena pemerintah daerah dan pengembang bersikeras bahwa lahan tersebut legal, sementara pengadilan memutuskan sebaliknya.  MetroTV melaporkan status lahan tersebut telah diverifikasi bersih sengketa, namun korban penggusuran tetap digusur, memperkuat anggapan persekongkolan mahar tanah.

Kasus lain menyangkut hak masyarakat adat. Di Kalimantan, konflik antara masyarakat Dayak dengan perusahaan perkebunan sawit kerap timbul karena perusahaan mendapat izin konsesi tanpa memperhatikan klaim tanah ulayat yang dikelola turun-temurun oleh komunitas adat. Masyarakat adat tidak mempunyai sertifikat formal, sehingga lahan yang menjadi hak ulayat mereka diserahkan kepada perusahaan melalui izin HGU.  Akibatnya, terjadi tumpang tindih klaim atas tanah yang sama. Dalam kasus Dayak tersebut, pemerintah dianggap lebih memihak korporasi, dan hak masyarakat adat yang bertahun-tahun mengelola lahan tidak diakui.  Di Sulawesi Selatan juga terjadi ketidakjelasan serupa: proses perpanjangan HGU PT Lonsum di Bulukumba sejak 2018 belum menyelesaikan tuntutan petani agar sebagian lahan rakyat dikeluarkan dari HGU perusahaan. Mediasi oleh BPN Sulsel pun belum menemukan solusi, karena kedua pihak sama-sama menganggap memiliki dasar hukum kuat atas klaimnya.

Ketimpangan Akses terhadap Instrumen Hukum Pertanahan

Persoalan clear and clean juga mencerminkan ketimpangan dalam akses instrumen hukum pertanahan.  Misalnya, menurut Komnas Perempuan (2021) dari 44 juta bidang tanah terdaftar nasional, hanya sekitar 15,88% terdaftar atas nama perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa kendala sosial (misal pembagian warisan patriarkal) membuat perempuan sering tidak mengakses sertifikasi legal meski mengelola lahan pertanian.  Di sisi geografis, pemerintah menargetkan 126 juta bidang tersertifikasi pada 2025, namun capaian PTSL 2024 masih berkutat di Jawa dan daerah mudah terjangkau; banyak lahan masyarakat adat di wilayah terpencil atau dalam kawasan hutan belum terverifikasi.  Kepala BPN Papua menegaskan bahwa hingga 2023 baru sekitar 3.000 bidang lahan terverifikasi sertifikat karena kendala konflik, dokumen, dan mayoritas tanah berada dalam kawasan hutan.  BPN Papua hanya dapat mensertifikasi lahan di luar hutan dan hak ulayat yang sudah menjadi milik pribadi, sedangkan ribuan bidang di pedalaman hutan adat belum disentuh.  Dengan demikian, warga miskin, perempuan, dan masyarakat adat cenderung terpinggirkan: mereka sulit memenuhi prasyarat clear and clean sehingga berpeluang lebih kecil memperoleh perlindungan legal melalui sertifikat.

Saran Kebijakan Pertanahan yang Lebih Adil dan Inklusif

Untuk mewujudkan visi pertanahan nasional yang benar-benar adil dan inklusif, diperlukan beberapa perbaikan kebijakan. Pertama, pemerintah harus menegaskan pengakuan hak ulayat dan komunal secara menyeluruh sebelum proses legalisasi pertanahan, misalnya dengan meninjau kembali regulasi seperti Permen ATR No. 14/2024 agar tidak menjadi hambatan penyelesaian konflik. Pendekatan administrasi (surat dan sertifikat) perlu dipadukan dengan mekanisme mediasi atau restorasi agraria, sehingga pengurusan sertifikat dapat juga menjadi sarana penyelesaian sengketa, bukan hanya syarat yang menutup pelaporan konflik.

Kedua, perluasan akses pendataan pertanahan bagi kelompok rentan harus ditingkatkan. Pemerintah dan BPN dapat memperbanyak loket layanan bagi masyarakat terpencil, serta kampanye dan pendampingan hukum gratis bagi petani, nelayan, perempuan, dan komunitas adat. Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya mendorong kesetaraan gender dalam sertifikasi, misalnya memastikan sertifikat atas nama suami-istri bersama. Demikian pula, kawasan hutan adat yang telah dikelola masyarakat lama harus difasilitasi peta wilayahnya agar bisa diadministrasikan sebagai hak ulayat, tanpa menunggu konflik di kawasan hutan terselesaikan terlebih dahulu.

Ketiga, alih-alih hanya menargetkan kuantitas sertifikat, kebijakan pertanahan harus berpihak keadilan sosial. Forum Pertanahan Asia (Asia Land Forum 2025) merekomendasikan agar reforma agraria dijalankan sepenuhnya oleh negara tanpa dikembalikan kepada mekanisme pasar. Artinya, tanah negara dan lahan terlantar harus dialokasikan bagi petani kecil dan masyarakat adat, bukan semata untuk kepentingan korporasi. Kebijakan redistribusi dan kedaulatan pangan perlu dikuatkan, sambil tetap memperkuat penegakan hukum untuk menumpas mafia tanah di internal BPN.  Dengan langkah-langkah tersebut —mengakui fakta sosial, memberi ruang partisipasi masyarakat adat, dan menjaga keadilan gender serta ekonomi— visi pertanahan “clear and clean” dapat direalisasikan secara lebih inklusif, sehingga tak hanya kepastian hukum yang terjamin, tapi juga rasa keadilan masyarakat terlindungi.


Daftar Pustaka: Dokumen resmi ATR/BPN, laporan berita nasional, serta analisis hukum dan kelola pertanahan (Walda A., Mongabay, Kompas, MetroTV, HuMa dll.) menunjukkan bahwa meski visi “Clear and Clean” dihadirkan untuk kepastian hukum, pelaksanaannya membutuhkan tindak lanjut kebijakan agar tidak mengorbankan keadilan agraria dan memicu konflik sosial.  Penerapan yang mempertimbangkan fakta historis kepemilikan tanah oleh masyarakat adat dan petani akan menjadikan sertifikasi tanah benar-benar clear sekaligus clean dari sisi hukum dan kemanusiaan.

Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013: Makna Frasa “Segera” dalam Pasal 18(3) KUHAP

Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013: Makna Frasa “Segera” dalam Pasal 18(3) KUHAP

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 3/PUU-XI/2013 menelaah makna frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Latar belakang permohonan diawali oleh Hendry Batoarung Madika sebagai pemohon. Hendry diajukan tersangka kasus narkoba, namun keluarganya baru menerima tembusan surat perintah penangkapan 24 hari setelah penangkapan dilakukan. Upaya praperadilan yang diajukannya ditolak dengan alasan KUHAP tidak mengatur batas waktu makna “segera”. Dalam permohonan uji materi, Hendry berargumen bahwa penggunaan kata “segera” tanpa batas waktu konkret menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut pemohon, penerapan Pasal 18(3) yang “waktunya tidak pasti” itu *“tidak menjamin kepastian hukum karena warga negara diperlakukan tidak sama di depan hukum”*. Dengan kata lain, pemohon menilai frasa “segera” bersifat ambigu dan bertentangan dengan prinsip asas legalitas dan perlakuan yang sama di muka hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945).

Ketentuan yang diuji dalam perkara ini adalah Pasal 18 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi: *“Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.”*. Ketentuan tersebut mewajibkan penyidik menyerahkan salinan SP (Surat Perintah) penangkapan kepada keluarga tersangka “segera” setelah penangkapan. Pemohon Hendry mengajukan permohonan pengujian norma ini dengan alasan bahwa frasa “segera” tidak memiliki batas waktu tegas. Ketidakjelasan tersebut, menurut pemohon, mencederai prinsip kepastian hukum dan kepastian persidangan pidana yang adil. Sebagai akibatnya, tidak ada sanksi administrasi atau pidana bagi penyidik yang terlambat menyampaikan tembusan, sehingga hak tersangka atas perlindungan proses hukum menjadi terabaikan. Dalam posisi konstitusi, hal ini dapat terkait dengan Pasal 28D(1) UUD 1945 (kesamaan kedudukan hukum) dan Pasal 28I (perlakuan wajar dalam peradilan).

Pertimbangan Hukum Mahkamah: Makna “Segera”

Mahkamah Konstitusi mengakui pentingnya asas kepastian hukum dalam pelaksanaan proses pidana. Dalam pertimbangan putusan, Mahkamah mencatat bahwa “tidak adanya rumusan yang pasti mengenai lamanya waktu yang dimaksud dengan kata ‘segera’” dalam Pasal 18(3) KUHAP dapat menimbulkan berbagai penafsiran oleh penyidik setiap daerah. Ketidakpastian makna ini berpotensi “menimbulkan ketidakpastian hukum” dan *“penafsiran berbeda … yang selanjutnya dapat menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap tersangka”*. Dengan kata lain, Mahkamah menilai bahwa keluwesan istilah “segera” dapat mengakibatkan penerapan yang tidak konsisten dan merugikan prinsip keadilan substantif.

Untuk menghindari masalah tersebut, Mahkamah menerapkan asas interpretasi yang menyelamatkan undang-undang secara kondisional. Putusan menyatakan bahwa frasa “segera” harus dimaknai dengan batas waktu tertentu agar konstitusional. Mempertimbangkan perkembangan sarana komunikasi dan kondisi geografis wilayah Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa jangka waktu yang wajar bagi penyidik untuk menyampaikan tembusan SP penangkapan kepada keluarga tersangka adalah 7 (tujuh) hari. Dengan demikian, Mahkamah memutuskan bahwa Pasal 18 ayat (3) KUHAP *“bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari’”*. Dalam rumusan amar, Mahkamah menyatakan norma tersebut inkonstitusional bersyarat – tetap berlaku namun wajib ditafsirkan agar pemenuhan waktu tidak melebihi 7 hari.

Secara ringkas, Mahkamah menegaskan dua hal penting. Pertama, tanpa batasan waktu, kata “segera” menimbulkan makna yang tidak baku dan bertentangan dengan asas kepastian hukum. Kedua, agar hak tersangka terlindungi, frasa tersebut harus diartikan mengikat secara konkret: penyidik wajib menyerahkan tembusan SP penangkapan ke keluarga tersangka paling lambat 7 hari pasca-penangkapan. Pendekatan ini menjaga keberlakuan Pasal 18(3) KUHAP sambil memenuhi rasa keadilan konstitusional.

Implikasi Yuridis dan Konstitusional

Putusan ini memiliki beberapa implikasi penting terhadap tata kelola ketatanegaraan dan tugas lembaga penegak hukum. Secara yuridis, interpretasi 7 hari menjadi pedoman mengikat bagi aparat penyidikan. Pemerintah dan lembaga penegak hukum perlu memastikan prosedur internal menyesuaikan dengan ketentuan baru ini. Misalnya, Penyidik dan Kejaksaan harus segera melakukan koordinasi agar salinan surat perintah penangkapan diserahkan ke keluarga tersangka selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah penangkapan. Bahkan, pemerintah sudah menyusun Peraturan Pemerintah (PP No.92/2015) sebagai perubahan atas PP No.27/1983 tentang pelaksanaan KUHAP, diduga untuk mengakomodasi batas waktu yang ditetapkan MK. Dengan demikian, proses koordinasi antar-institusi penegakan hukum harus diperkuat, termasuk pemanfaatan sarana komunikasi cepat (misalnya notifikasi elektronik atau kiriman pos kilat) guna memenuhi tenggat 7 hari.

Secara konstitusional, putusan ini mempertegas prinsip kepastian hukum dan persamaan di depan hukum. Pemaknaan waktu maksimum 7 hari memberi perlindungan konkret pada hak tersangka untuk mendapatkan pemberitahuan penangkapan dari negara. Dengan menetapkan standar waktu, Mahkamah mencegah praktik sewenang penyidik yang bisa berbeda-beda di setiap wilayah. Hal ini menunjukkan pengarusutamaan nilai konstitusional dalam praktik ketatanegaraan: frasa subjektif harus memiliki margin definiteness yang melindungi hak asasi. Selain itu, posisi Mahkamah sebagai constitutional guardian ditunjukkan melalui sikap inkonstitusional bersyarat, yakni mengoreksi norma tanpa membatalkan keseluruhan undang-undang. Secara kelembagaan, putusan ini mengingatkan agar DPR dan eksekutif mengawasi konsistensi norma hukum dengan UUD 1945, serta mendorong revisi undang-undang atau peraturan pelaksana agar selaras dengan pertimbangan konstitusional.

Secara lebih luas, keputusan ini juga berpengaruh pada pelaksanaan asas peradilan yang cepat dan biaya ringan, karena batas waktu yang jelas mempercepat keterlibatan keluarga dan proses prapenahanan. Keputusan menguatkan kedudukan pemerintahan hukum (Rechtsstaat) Indonesia, di mana setiap kata dalam peraturan harus terukur akibat dan masa berlaku hukumnya. Putusan ini juga menjadi preseden bahwa istilah umum dalam hukum pidana akan dicermati ulang jika menimbulkan multitafsir. Secara yuridis, apabila dalam praktik aparat melampaui batas 7 hari, hal ini dapat dijadikan dasar gugatan ganti kerugian atau praperadilan untuk menuntut pertanggungjawaban (terbuka kemungkinan izin yudisial untuk tindakan serupa sejak adanya tafsir jelas Mahkamah).

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan analisis di atas, frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP perlu diartikan secara konkrit agar sesuai konstitusi. Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013 menyimpulkan bahwa kata tersebut harus dimaknai selambat-lambatnya 7 hari setelah penangkapan. Keputusan ini menegaskan kepastian hukum bagi tersangka dan keluarganya, sekaligus memerintahkan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti penafsiran tersebut.

Sebagai saran normatif, perlu dilakukan langkah-langkah berikut agar putusan tersebut efektif terlaksana. Misalnya:

  • Revisi UU KUHAP: Legislator hendaknya merevisi Pasal 18 ayat (3) KUHAP agar secara eksplisit memuat batas waktu 7 hari. Hal ini menghilangkan ketidakjelasan norma dan mengokohkan interpretasi MK di tingkat legislasi.
  • Penyempurnaan Peraturan Pemerintah: Pemerintah dapat memasukkan ketentuan operasional dalam PP KUHAP (seperti PP No.27/1983) tentang mekanisme penyerahan tembusan SP penangkapan sesuai tenggat waktu.
  • Pembinaan Internal Aparat: Kepolisian dan Kejaksaan perlu memperbarui SOP dan pelatihan agar seluruh penyidik memahami kewajiban “7 hari” dan konsekuensi pelanggarannya.
  • Pemantauan dan Sanksi: Lembaga pengawas (misalnya Ombudsman atau Pengawas Internal Kepolisian) seyogianya mengawasi kepatuhan waktu ini. Jika ditemukan kelalaian, dapat diberi sanksi administrasi atau diajukan ganti rugi melalui jalur hukum.

Dengan demikian, tafsir konstitusional frasa “segera” menjadi pedoman legal yang jelas. Langkah-langkah normatif di atas diharapkan memantapkan kepastian prosedur penyidikan sesuai putusan MK, sehingga asas peradilan cepat dan adil dapat terpenuhi secara konsisten.

Daftar Pustaka (dipilih) mencakup Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013 serta kajian yuridis terkait.

Sabtu, 03 Mei 2025

KEBERLAKUAN HIR DAN RBG DALAM SISTEM PERADILAN SAAT INI



Sejarah dan Ruang Lingkup HIR dan RBg

Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) merupakan produk hukum kolonial Belanda yang masih berlaku di Indonesia. HIR (Stbl. 1848/16 jo. 1941/44) berlaku khusus di Pulau Jawa dan Madura, sedangkan RBg (Stbl. 1927/227) berlaku di luar Jawa dan Madura. Keduanya mengatur hukum acara di Pengadilan Negeri (untuk penduduk pribumi), termasuk prosedur gugatan dan pemeriksaan perkara. Secara garis besar HIR memuat “hukum acara perdata maupun pidana” bagi Pengadilan Negeri di wilayah Jawa–Madura, sedangkan RBg memiliki ketentuan yang “pada garis besarnya sama dengan HIR” tapi diterapkan di daerah luar Jawa–Madura. Dengan demikian keberlakuan HIR dan RBg didasarkan atas pembagian wilayah hukum: HIR untuk dalam pulau Jawa/Madura, RBg untuk “daerah seberang”.

Isi Pokok dan Struktur Utama HIR serta RBg

HIR dan RBg terdiri dari pasal-pasal yang mengatur tahapan beracara di pengadilan: mulai dari formalitas mengajukan gugatan, pembelaan/eksepsi, pembuktian, persidangan pokok, hingga pelaksanaan putusan (eksekusi). HIR sendiri memuat 394 pasal. Beberapa konten penting dalam HIR/RBg adalah misalnya:

Pengajuan Gugatan: cara menyiapkan dan mendaftarkan gugatan, termasuk gugatan prodeo bagi pihak tak mampu (Pasal 120–121 HIR).

Kewenangan Pengadilan (kompetensi relativ/absolut): Pasal 118 HIR mengatur forum domisili (actor sequitur forum rei), sedangkan RBg memberi penekanan khusus misalnya Pasal 142 RBg yang mengatur bahwa apabila objek sengketa adalah tanah, gugatan dapat selalu diajukan di tempat tanah tersebut berada.

Pembuktian: HIR Pasal 163 (dan BW Pasal 1865) menetapkan bahwa beban pembuktian ada pada pihak yang menuntut suatu hak. Misalnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menegaskan bahwa “setiap Majelis Hakim harus memulainya dengan penerapan ketentuan hukum mengenai beban pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 163 HIR … (yang intinya) barang siapa yang menyatakan ia mempunyai sesuatu hak, wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa tersebut”.

Eksepsi dan Putusan Verstek: HIR juga mengatur kapan eksepsi kewenangan dipertimbangkan (Pasal 133 HIR), serta aturannya tentang putusan verstek (gugatan yang diputus tanpa hadirnya tergugat) (Pasal 123–124 HIR, dan pasal sepadan dalam RBg).

Eksekusi Putusan: Pasal 195 HIR (pasal 206 RBg) mengatur prosedur pelaksanaan putusan perdata. Sebagai contoh, pasal 195(1) HIR menyatakan bahwa “perkiraan pemeriksaan perkara perdata harus mendapat persetujuan dari tergugat” sebelum eksekusi, sedangkan RBg memiliki ketentuan paralel.


Selain itu, terdapat ketentuan lain terkait pemeriksaan permohonan (yurisdiksi volunter), penggabungan gugatan, dan seterusnya. Intinya, struktur HIR dan RBg sangat komprehensif dalam mengatur teknis beracara, meski sebagian ketentuannya telah tertutupi oleh perundangan nasional. Pada praktiknya juga sering dipergunakan Surat Edaran MA (SEMA) dan Peraturan MA sebagai pelengkap pengaturan dalam HIR/RBg.

Keberlakuan dalam Sistem Hukum Indonesia Kini

Setelah kemerdekaan, HIR dan RBg tetap diakui keberlakuannya berdasarkan ketentuan peralihan UUD 1945. Misalnya Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa undang-undang yang sudah ada tetap berlaku selama belum diganti secara hukum nasional. Oleh karena itu HIR dan RBg masih menjadi hukum acara perdata yang berlaku bagi pemeriksaan perkara antara penduduk pribumi (bumiputra) di PN, sesuai wilayahnya. Namun setelah lahirnya Undang-Undang KUHAP (UU No. 8/1981), maka bagian HIR yang mengatur hukum acara pidana dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Dengan kata lain, urusan hukum acara pidana kini diatur oleh KUHAP (dan undang-undang pidana lain), sehingga HIR/RBg hanya berlaku untuk perdata. (Demikian juga secara implisit ketentuan pidana RBg dihentikan berlakunya bersamaan dengan diberlakukannya KUHAP.)

Dengan demikian perkembangan terkini menyebutkan: (1) Hukum acara perdata bagi perkara di PN Jawa/Madura diatur HIR; bagi PN luar Jawa/Madura diatur RBg; (2) Hukum acara pidana di pengadilan umum tidak lagi mengikuti HIR/RBg melainkan KUHAP; (3) Peraturan baru secara bertahap mengisi kekosongan, misalnya banyak Undang-Undang sektoral yang mengatur aspek prosedural khusus (seperti pemeriksaan perkara keluarga di PA, pengajuan hak tunda, dsb). Sampai kini, belum ada pengganti tunggal HIR/RBg, sehingga pengadilan masih sering mempraktikkan rezim kolonial ini. Disusun juga RUU tentang Hukum Acara Perdata (pengajuan RUU HAP) untuk menyatukan berbagai aturan prosedural yang tersebar.

Penerapan dalam Praktik Peradilan

Dalam praktik, hakim dan panitera merujuk HIR atau RBg sesuai wewenang wilayahnya. Misalnya, kompetensi relatif biasanya dicari berdasarkan Pasal 118 HIR (domisili tergugat) atau Pasal 142 RBg (pengecualian untuk sengketa tanah). Sebuah sumber di PN Mentok mencatat: “Ketentuan HIR dalam hal ini berbeda dengan RBg. Menurut Pasal 142 RBg, apabila objek gugatan adalah tanah, maka gugatan selalu dapat diajukan kepada PN di mana tanah itu terletak”. Hal ini menunjukkan bahwa PN di luar Jawa cenderung memberi opsi tambahan (forum rei sitae) yang tidak tercantum eksplisit dalam HIR.

Selain itu, hakim juga mengutip norma pembuktian dari HIR. Contohnya, PN Jakarta Pusat (No. 147/Pdt.G/2024) mengutip Pasal 163 HIR untuk menegaskan bahwa “penggugat wajib membuktikan dalil-dalilnya” ketika mengajukan gugatan perdata. Ketentuan-ketentuan lain, seperti aturan mediasi atau forum sengketa perdata-agama (UU No. 1/1974), dijalankan dengan menyesuaikan HIR/RBg atau undang-undang khusus. Secara keseluruhan, pengadilan masih sering menyandarkan prosedur perdata pada HIR/RBg, baik dalam materi gugatan, eksepsi, pembuktian, maupun eksekusi.

Yurisprudensi Terkini

Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap juga memperlihatkan penggunaan HIR/RBg. Misalnya, sejumlah putusan mengonfirmasi asas actor sequitur forum rei (gugatan di pengadilan tempat tergugat tinggal) sebagaimana diatur Pasal 118 HIR, dan melihat pengecualian Pasal 142 RBg untuk tanah. Selain itu, MA dan pengadilan tingkat banding sering menegaskan bahwa beban pembuktian mengikuti HIR. Contohnya, putusan PN Jkt. Pusat menegaskan bahwa “beban pembuktian” ada pada pihak yang menuntut (mengutip HIR 163/KUHPerdata 1865). Meskipun putusan tingkat MA lebih jarang menyebut HIR/RBg secara eksplisit, keberadaan HIR/RBg tercermin dalam pedoman praktis hakim serta Kompilasi Kaidah Hukum Perdata.

Dalam praktik mutakhir juga terlihat bahwa permohonan keberatan eksekusi (pasal 195(6) HIR/206(6) RBg) masih menjadi bahan rujukan, dan Mahkamah Agung pernah menjadikan ketentuan HIR sebagai dasar putusan (misalnya MA No. 697 K/Sip/1974 terkait eksekusi). Keputusan MK terbaru bahkan menyebut Pasal 165 HIR dan 285 RBg dalam uji materi UU Jabatan Notaris (putusan 34/PUU-XXII/2024), menandakan bahwa ketentuan itu masih diukur kesesuaiannya dengan UUD (dan dinyatakan sah). Dengan kata lain, baik doktrin maupun praktik peradilan menunjukkan bahwa HIR dan RBg masih aktif dipakai sebagai dasar prosedur persidangan perdata, sambil menunggu pembaharuan hukum acara nasional.


Daftar Pustaka (contoh sumber): Informasi disusun berdasarkan teks HIR dan RBg serta literatur hukum Indonesia. Panduan praktek pengadilan (misalnya situs PN Mentok) dan yurisprudensi terkini juga dikaji. (Referensi utama: teks HIR/RBg, Hukumonline, LeIP, JDIH MA).

Kamis, 01 Mei 2025

Pembuktian Perbuatan Pelanggaran Pidana yang Berkaitan Erat dengan Aspek Hubungan Keperdataan

🇰 🇴 🇵 🇮 🇭 🇮 🇹 🇦 🇲
Jurnal
Oleh : Dr. Sunardi, S.H., M.H

Berikut adalah draf jurnal hukum dengan topik  "Pembuktian Perbuatan Pelanggaran Pidana yang Berkaitan Erat dengan Aspek Hubungan Keperdataan". Struktur ini mencakup abstrak, pendahuluan, pembahasan, dan penutup, sesuai dengan format umum jurnal ilmiah hukum:

Judul: Pembuktian Perbuatan Pelanggaran Pidana yang Berkaitan Erat dengan Aspek Hubungan Keperdataan 

Abstrak:

Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, sering kali dijumpai kasus-kasus pidana yang berakar atau beririsan dengan hubungan keperdataan. Misalnya, perkara penggelapan, penipuan, atau pemalsuan yang muncul dari sengketa perjanjian atau transaksi keperdataan. Perdebatan utama muncul dalam aspek pembuktian, ketika peristiwa hukum yang pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap norma keperdataan diproses sebagai delik pidana. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji batas-batas antara aspek perdata dan pidana, serta menyoroti bagaimana pembuktian dalam perkara pidana dapat dipengaruhi atau bahkan terkendala oleh sifat keperdataan dari hubungan para pihak. Metode yang digunakan adalah pendekatan normatif dengan analisis yuridis kualitatif terhadap putusan-putusan pengadilan dan doktrin hukum yang relevan. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun pembuktian pidana mensyaratkan pembuktian beyond reasonable doubt, keterkaitan erat dengan hubungan keperdataan membuat peran alat bukti perdata (perjanjian tertulis, korespondensi, dll.) menjadi signifikan, meskipun harus diinterpretasikan dengan hati-hati agar tidak terjadi kriminalisasi hubungan perdata. 

Kata Kunci: Pembuktian, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Kriminalisasi, Hubungan Keperdataan. 


Pendahuluan 

Hukum pidana dan hukum perdata pada dasarnya merupakan dua rezim hukum yang berbeda, baik dari aspek prinsip, tujuan, maupun mekanisme penyelesaian. Namun, dalam praktik, terdapat irisan yang cukup signifikan antara keduanya, khususnya ketika suatu hubungan hukum perdata berkembang menjadi sengketa pidana. Fenomena ini sering kali menimbulkan tantangan dalam aspek pembuktian, terutama karena adanya kecenderungan untuk mengkriminalisasi wanprestasi atau kelalaian dalam hubungan perdata. Penelitian ini penting mengingat banyaknya perkara pidana yang sesungguhnya bermula dari perselisihan perdata. Dalam konteks ini, pertanyaan mendasar yang akan dijawab dalam artikel ini adalah: sejauh mana pembuktian dalam perkara pidana dapat mengakomodasi fakta-fakta yang bersumber dari hubungan keperdataan, dan bagaimana menjaga agar proses hukum tetap berjalan secara adil tanpa melanggar asas-asas dasar hukum pidana? 


Pembahasan 

1. Perbedaan Prinsipil antara Hukum Pidana dan Hukum Perdata 

  • Tujuan hukum pidana adalah perlindungan terhadap kepentingan umum melalui penghukuman terhadap pelaku kejahatan, sementara hukum perdata melindungi hak-hak individu melalui mekanisme ganti rugi atau pemulihan. 
  • Dalam hukum pidana berlaku asas nullum crimen sine lege dan in dubio pro reo, sedangkan dalam hukum perdata berlaku asas keadilan dan keseimbangan para pihak. 

2. Kasus-Kasus Pidana yang Berakar dari Hubungan Perdata 
  • Penipuan dalam transaksi jual beli 
  • Penggelapan dalam hubungan fidusia atau kuasa 
  • Pemalsuan dokumen dalam sengketa tanah Dalam perkara semacam ini, hubungan hukum awal adalah perdata, namun akibat perbuatan tertentu (misalnya menyembunyikan objek fidusia atau membuat pernyataan palsu), timbul unsur delik pidana. 

3. Aspek Pembuktian dalam Pidana: Tantangan ketika Beririsan dengan Perdata 
  • Pembuktian dalam hukum pidana menuntut standar tinggi (beyond reasonable doubt). 
  • Alat bukti seperti perjanjian, kuitansi, surat pernyataan, sering digunakan untuk membuktikan niat atau mens rea pelaku. 
  • Peran ahli hukum perdata kadang dibutuhkan dalam persidangan pidana untuk menilai keabsahan perikatan. 
 Contoh: Dalam kasus penipuan, hakim pidana harus mampu membedakan apakah perbuatan tersebut semata-mata wanprestasi (tidak pidana) atau terdapat niat jahat sejak awal (delik penipuan). 


4. Risiko Kriminalisasi Hubungan Perdata 

Ketika setiap pelanggaran kontrak dikriminalisasi, maka hukum pidana berpotensi digunakan sebagai alat tekanan dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini bertentangan dengan prinsip ultimum remedium hukum pidana. 


Penutup 

Hubungan antara hukum pidana dan perdata dalam konteks pembuktian sangat kompleks dan memerlukan kehati-hatian agar tidak terjadi penyimpangan fungsi hukum. Hakim pidana harus mampu memisahkan secara tajam apakah suatu peristiwa merupakan perdata murni atau mengandung unsur pidana. Pembuktian yang kuat dan komprehensif, termasuk dari sisi niat (mens rea) dan motif, menjadi kunci dalam menentukan apakah suatu perkara pantas dibawa ke ranah pidana. Harmonisasi antara kedua rezim hukum serta pemahaman mendalam terhadap substansi hubungan hukum antar pihak mutlak diperlukan guna menegakkan keadilan secara proporsional.

PINGBOX saya